BERSEDEKAP SEWAKTU I’TIDAL
FORMAT BARU FATWA-FATWA TARJIH : TANYA JAWAB AGAMA
BY: DR. H. ZAINUDDIN MZ, LC., MA – NBM: 984477
DIREKTUR MARKAZ TURATS NABAWI _ PUSAT STUDI HADITS
43. BERSEDEKAP SEWAKTU I’TIDAL (JILID: VI/HALAMAN: 38)
Tanya: Mohon penjelasan tentang bersedekap sewaktu i’tidal.
Jawab: Memang akhir-akhir ini banyak surat yang sampai kepada kami menanyakan masalah serupa itu. Jawaban berikut ini untuk anda dan untuk saudara-saudara kita yang lain, sehingga menjadi jelas duduk persoalannya.
Hadits Abu Humaid al-Sa’idi
وَعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ قَالَ: (كُنْتُ جَالِسًا مَعَ) (عَشَرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) (فَذَكَرُوا صَلَاةَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَا كُنْتُ أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) … (ثُمَّ يَرْفَعُ رَأسَهُ فَيَقُولُ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ, ثُمَّ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ مُعْتَدِلًا) وَفِي رِوَايَةٍ: (ثُمَّ قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ – وَرَفَعَ يَدَيْهِ – وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا
Muhammad bin Amr bin Atha’ berkata: (Sewaktu aku duduk) (bersama sepuluh sahabat) (mereka membicarakan shalat Nabi. Lalu Abu Humaid al-Sa’idi berkata: Aku yang lebih mengerti terhadap shalat Nabi) … (Lalu Nabi saw. mengangkat kepala dan membaca. Samiallahu li man hamidahu, dan Nabi sambil mengangkat kedua tangan hingga setantang kedua pundak secara tegak). Dalam riwayat lain: Kemudian Nabi mengucapkan, samillahu li man hamidahi, sambil mengangkat tangan, dan tegak berdiri sehingg setiap tulang kembali ke persendian semua secara tegak).
Dalam kitab Fikih Islami, karya Wahbah Zuhaili 1/658 dipaparkan sebagai berikut:
وَقَالَ أَبُوْ يُوْسُفَ وَالْأَئِمَّةُ الْآخَرُوْنَ: اَلرَّفْعُ مِنَ الرُّكُوْعِ وَاْلاِعْتِدَالُ قَائِمًاً مُطْمَئِنًّاً رُكْنٌ أَوْ فَرْضٌ فِي الصَّلَاةِ، وَهُوَ أَنْ يَعُوْدَ إِلَى الْهَيْئَةِ الَّتِيْ كَانَ عَلَيْهَا قَبْلَ الرًّكُوْعٍ
Abu Yusuf dan para imam (ahli fiqh) yang lain berkata: Bangun atau bangkit dari ruku’ dan i’tidal dalam keadaan berdiri dan penuh tuma’ninah adalah rukun atau fardhu shalat. Yaitu ia kembali kepada keadaan semula sebelum ruku’.
Dari kedua kutipan di atas, kami cenderung berkesimpulan bahwa pada waktu i’tidal tidak dengan bersedekap, tetapi tangannya lurus ke bawah, seperti yang kita lakukan selama ini.
Mengenai hadits Wa’il bin Hujr al-Hadlrami yang dikeluarkan oleh Ahmad dan dinilai shahih seperti yang saudara lampirkan yang dikutip dari kitab al-Sunan al-Mahjurah (sunah-sunah yang ditinggalkan), karya Anis bin Ahmad bin Thahir, dapat kami informasikan untuk menjadi wawasan anda sebagai berikut:
Perkataan وَوَضَعَ كَفَّيْهِ (Nabi saw. meletakkan kedua pergelangan tangannya) tidak jelas menunjukkan kepada bersedekap, tetapi bisa pula dipahami lurus ke bawah. Kalau dimaksudkan meletakkan tangan pada dada (bersedekap), tentu bunyi hadits itu وَوَضَعَ كَفَّيْهِ فِى الصَّدْرِ (Nabi saw. meletakkan kedua pergelangan pada dadanya).
Muhammad Nashiruddin Albani dalam bukunya Shifat Shalat Nabi pada halaman 130 memaparkan sebagai berikut:
عَنِ الإِمَامِ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّهُ قَالَ: إِنْ شَاءَ؛ أَرْسَلَ يَدَيْهِ بَعْدَ الرَّفْعِ مِنَ الرُّكُوْعِ، وَإِنْ شَاءَ؛ وَضَعَهُمَا (هَذَا مَعْنَى مَا ذَكَرَهُ صَالِحُ ابْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي مَسَائِلِهِ (ص: 90) عَنْ أَبِيْهِ) ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَرْفَعْ ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّمَا قَالَهُ بِاِجْتِهَادِهِ وَرَأْيِهِ، وَالرَّأْيُ قَدْ يُخْطِئُ
Ahmad berkata: Jika (seseorang) menghendaki tidak sedekap sesudah bangkit dari ruku’, maka ia diperbolehkan dan jika ia menghendaki bersedekap, maka ia juga diperbolehkan.
Seperti itulah yang dipaparkan Shalih bin Ahmad dari bapaknya dalam buku ‘Masail Ahmad’, p. 90.
Kemudian Nasiruddin Albani berkomentar: Dalam hal ini Ahmad tidak menisbatkan ucapannya itu kepada Nabi saw., itu hanya dari hasil ijtihadnya sendiri dan agar dimaklumi kadang hasil ijtihad itu keliru.
Hadits Wa’il tersebut terkesan sebagai suatu sunah yang tidak diamalkan oleh kebanyakan ulama, dan kalau kita mengikuti pendapat Ahmad, maka itu tidak mengikat dan tidak bisa memaksa orang yang tidak mengikutinya. Kami masih meragukan keshahihan riwayat tesebut.