
FADHILAH SHALAT DENGAN BERSURBAN
FADHILAH SHALAT DENGAN BERSURBAN
PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)
TEKS HADITS: Shalat bi imamah ta’dilu khamsan wa isyrina shalatan bighairi imamah, wa jum’at bi imamah ta’dilu sab’ina jum’atan bi ghairi imamah. Inna l-malaikah layasyhaduna jum’ata mu’tammina, wa la yazaluna yushalluna ‘ala ashabi amaim hatta taghruba syamsi.
TERJEMAHAN: Shalat dengan menggunakan surban nilainya sama dengan shalat dua puluh lima kali tanpa menggunakan surban. Sekali jum’ataan dengan menggunakan surban, nilainya sama dengan tujuh pulu kali jum’atan tanpa menggunakan surban. Sesungguhnya para Malaikat senantiasa mendo’akan orang yang jum’atan dengan bersurban, dan senan tiasa mendo’akan yang bersurban itu sampai tenggelamnya matahari.
STATUS HADITS: MAUDHU’ (HADITS PALSU).
PENJELASAN HADITS: Adanya kesempurnaan dan kekurangan pahala shalat tentunya bukan ditentukan wujud pakaian atau surban yang dikenakan oleh seseorang, melainkan mengacu kepada bagaimana terpenuhinya segala rukun, syarat bahkan sunnah shalat itu sendiri di samping nilai kekhusuan pelakunya.
Secara tegas Rasulullah saw. bersabda: Sungguh kalian memang sudah melaksanakan shalat, namun kalian tidak menggapai pahalanya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, dan setengahnya.
Hal seperti ini bukan disebabkan pelitnya Tuhan dalam memberikan ganjaran kepada pelakunya, melainkan manusia yang harus introspeksi pada dirinya sendiri, kenapa ia hanya mendapatkan sepersepuluhnya, tentu biangnya lantaran ada beberapa kelengkapan shalat yang belum tertunaikan sehingga pada wilayah sah dan tidaknya sudah tidak menjadi masalah, namun pada sisi sempurna atau kurangnya yang berdampak tidak setiap kita mampu menggapai palanya secara maksimal.
Tutup kepala “surban” tentu tidak harus seperti yang dilakukan dalam kultur bangsa Arab, seperti itu pula pakaian “ghamisnya”. Sisi syari’atnya adalah memakai tutup kepala, apakah menggunakan blangkon, songkok, kopiyah putih (kopoyah haji) atau lainnya tentu tidaklah bermasalah.
Seperti itu pula membicarakan “ghamis”, tentunya secara syar’i adalah menutup aurat, apakah dengan sarung, celana, dan sebagainya. Maka bagi yang ngotot memakai ghamislah yang paling afdhal (mulia), maka memakai surbanlah juga yang paling afdhal. Ini merupakan konsekuensi logis dalam memahami syariat Islam.
Ada pengalaman yang menarik yang pernah penulis alami. Ketika usai memberikan manasik haji di kantor Departemen Agama, penulis dipaksa untuk bertindak menjadi imam shalat, yang pada waktu itu penulis tidak menggunakan tutup kepala. Seusai shalat penulis diperguncingkan oleh jamaah yang katanya shalat jadi imam koq tidak mengenakan tutup kepala? Maka penulis berupaya memberikan klarifikasi: Apakah shalat harus menggunakan tutup kepala? Ia menjawab: Harus. Penulis balik bertanya: Mohon maaf kali ini anda akan menunaikan hajian yang keberapa kali. Ia menjawab: Ini merupakan hajian yang pertama kali. Maka penulis berkomentar: Pantas anda berucap seperti itu. Ketika anda sedang berihram (mengenakan kain ihram baik untuk haji maupun untuk umrah) maka ketika anda menjalankan shalat, maka anda tidak diperbolehkan menutup kepala dengan apapun jenisnya?!
Takhrij HADITS: Hadits ini dikeluarklan Ibn Najjar dan juga dikeluarkan oleh Ibn Asakir dalam al-Tarikh, semuanya lewat jalur Abbas ibn Katsir al-Ruqa, dari Zaid ibn Abi Habib: Saya dikhabari Mahdi ibn Maimun: Waktu itu saya menjumpai Salim ibn Abdullah ibn Umar yang sedang mengenakan surban. Katanya: Wahai Abu Ayyub, maukah anda saya khabari sebuah hadits yang anda pasti menyenanginya, selalu membawanya dan meriwayatkannya. Saya menjawab: Tentu. Ia berkata: Waktu itu saya mendatangi Abdullah ibn Umar yang pada waktu itu ia sedang mengenakan surban. Ia berkata: Wahai anakku, saya senang sekali mengenakan surban. Wahai anakku sekiranya anda mengenakan surban, anda akan diagungkan dimuliakan dan dihormati umat, anda tidak akan digoda syetan bahkan ia akan lari darimu. Sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Lalu memaparkan seperti hadits di atas.
Biang segala mala petaka hadits ini ada pada perawi yang bernama Abbas ibn Katsir al-Ruqa yang dinyatakan “pemalsu hadits”. Itulah sebabnya imam Ibn Hajar dalam bukunya Lisan al-Mizan, setelah memaparkan biografinya mengatakan hadits ini palsu. Bukan hanya Ibn Hajar yang memvonis hadits itu palsu. Berikut ini penulis paparkan para pengkritisi dan pemerhati hadits: Penyusun Kasf al-Khafa’, setelah memaparkan bahwa hadits itu diriwayatkan Ibn Umar secara al-marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi, akhirnya menyatakan: Hadits ini adalah palsu. Penyusun buku al-Maqashid al-Hasanah, setelah mendatangkan hadits di atas akhirnya menyimpulkan bahwa hadits itu adalah palsu. Penyusun buku Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah, setelah memaparkan hadits di atas dan menjelaskan bahwa hadits itu dinisbatkan kepada Ibn Umar secara al-marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi) berkesimpulan bahwa hadits itu munkar bahkan palsu. Dalam sanadnya (mata rantai perawinya) ada perawi yang saya tidak mengetahui siapa dia. Menurut penyusun al-Masnu’ fi ma’rifat al-hadits al-maudhu’, setelah memaparkan hadits di atas berkomentar: Hadits ini adalah palsu. Kata al-Manufi semuanya batal. Menurut penyusun Tadzkirah al-Maudhu’at, setelah memaparkan hadits di atas, ia menukil penilaian penyusun al-maqasid bahwa hadits itu adalah palsu. Menurut penyusun Asna al-Mathalib fi ahadits mukhtalaf al-maratib : 1/171 setelah memaparkan hadits di atas menukil pernyataan Ibn Hajar bahwa hadits itu palsu, seperti itu pula yang dikeluarkan al-Dailami. Menurut penyusun al-Fawaid al-Majmu’ah karya al-Syaukani, setelah memaparkan hadits di atas berkesimpulan dalam sanadnya (mata rantai perawinya) ada yang tertuduh dusta, dan menukil pernyataan penyusun al-Maqashid bahwa hadiys itu adalah palsu.
Referensi: Lebih lanjut silakan merujuk pada referensi berikut ini: Lisan al-Mizan: 3/244. Maqashid Hasanah: 1/423. Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah: 2/122. Tadzkirah Maudhu’at: 1/155. Asna Mathalib fi ahadits mukhtalaf maratib : 1/171. Fawaid Majmu’ah karya al-Syaukani: 1/88.

