
HADITS SHAHIH CARA SUJUD BAGIAN 1
FORMAT BARU FATWA-FATWA TARJIH : TANYA JAWAB AGAMA
BY: DR. H. ZAINUDDIN MZ, LC., MA – NBM: 984477
DIREKTUR MARKAZ TURATS NABAWI _ PUSAT STUDI HADITS
52. HADITS SHAHIH CARA SUJUD BAGIAN 1
PENDAHULUAN
Buku yang dihadapan pembaca ini merupakan rangkuman dari berbagai artikel yang mengkrucut pada permasalahan cara sujud, apakah mendahulukan tangan atau lutut terlebih dahulu. Dalam hal ini memang ditemukan dua pendapat. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa cara sujud itu mendahulukan lutut kemudian kedua tangan. Kedua, kebalikan dari cara yang pertama, yakni mendahulukan tangan kemudian kedua lutut.
Sesungguhnya seluruh ulama sepakat bahwa untuk cara sujud umat dilarang oleh Rasulullah saw. untuk berdekam seperti berderumnya unta. Akan tetapi yang menjadi perselisihan persepsi, bagaimana unta berderum dalam sudut pandangan manusia, apakah unta itu mendahulukan lututnya atau mendahulukan tangannya?
Bagi mereka yang berkeyakinan bahwa unta ketika berderum mendahulukan lututnya, maka mereka mengeluarkan fatwa agar umat Muhammad saw. dalam sujudnya agar mendahulukan tangannya. Namun bagi mereka yang berkeyakinan bahwa unta ketika berderum mendahulukan tangannya, maka mereka mengeluarkan fatwa agar umat Muhammad saw. dalam sujudnya agar mendahulukan lututnya.

Hasil Penelitian Nadwah Mudzakarah
Menurut hasil penelitian Nadwah Mudzakarah, bahwa semua hadits baik yang mendahulukan lutut maupun tangan tidak ada satupun yang shahih.
Hadits-hadits yang mendahulukan lutut semuanya dinilai dhaif.
(1). Hadits Pertama, hadits yang diriwayatkan Saad ra.
كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الرُّكْبَتَيْنِ فَأُمِرْنَا بِالرُّكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ (رواه ابن خزيمة)
“Kami biasa meletakkan kedua tangan kami sebelum kedua lutut, lalu kami diperintah (meletakkan) kedua lutut sebelum kedua tangan” HR. ibn Khuzaimah.
Hasil penelitian: Hadits di atas dikeluarkan oleh ibnu Khuzaimah dalam al-Shahih: (628) dengan sanad (mata rantai perawi) sebagai berikut: Abu Thahir, dari Abu Bakar, dari Ibrahim ibn Ismail ibn Yahya, dari Yahya, dari Salamah, dari Mash’ab ibn Sa’ad, dari Sa’ad ra.
Pada sanad ini terdapat dua perawi yang lemah, yaitu Ibrahim ibn Ismail ibn Yahya dan Ismail ibn Yahya. Tentang Ibrahim ini dinilai ibn Hiban: Ia meriwayatkan dari bapaknya hadits-hadits munkar. Ibn Ma’in menerangkan: Numair tidak meridhainya dan melemahkannya dan mengatakan: Ia biasa meriwayatkan hadits-hadits munkar. Imam al-Dzahabi berkata: Abu Zur’ah menganggapnya lemah dan Abu Hatim meninggalkan periwayatannya. Sedangkan bapaknya (Ismail) dinilai al-Daraqutni matruk al-hadits (haditsnya harus digugurkan). [Periksa: Tahdzib al-Tahdzib: (1/106 dan 336); Mizan al-I’tidal: (1/20 dan 254) dan Diwan al-Dhu’afa wa al-Matrukin: (1/93). Dengan demikian hadits ini lemah dan tidak dapat dipakai sebagai hujah.

(2). Hadits Kedua, hadits yang diriwayatkan Wail ibn Hujr ra.:
رَأَيْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَ اِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ (رواه ابو داود و الترمذى و ابن خزيمة)
“Saya melihat Nabi saw. apabila turun sujud beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan ibn Khuzaimah.
Hasil penelitian: Hadits di atas dikeluarkan oleh Abu Daud dalam al-Sunan: (838) dengan sanad (mata rantai perawi) sebagai berikut: Al-Hasan ibn Ali, dari Yazid ibn Harun, dari Syuraik ibn Abdullah, dari Kulaib, dari Wail ibn Hujr ra.
Hadits di atas juga dikeluarkan oleh Tirmidzi dalam al-Sunan: (268) dengan sanad (mata rantai perawi) sebagai berikut: Abdullah ibn Numair, dari Salamah ibn Sulaib, dari Yazid ibn Harun, dari Syuraik ibn Abdullah, dari Kulaib, dari Wail ibn Hujr ra.
Hadits di atas juga dikeluarkan oleh ibn Khuzaimah dalam al-Shahih: (268) dan (629) dengan sanad (mata rantai perawi) sebagai berikut: Abu Thahir, dari Abu Bakar, dari Ali ibn Muslim, dari Suhail ibn Harun dan Yazid ibn Harun, dari Syuraik ibn Abdullah, dari Kulaib, dari Wail ibn Hujr ra.

Kalau diperhatikan dengan seksama, ketiga sanad di atas, maka ditemukan perawi Syuraik ibn Abdullah. Nama lengkapnya adalah Syuraik ibn Abdullah ibn Abu Syuraik al-Nakha’i Abu Abdullah al-Kufi al-Qadhi. Ya’qub ibn Syaibah mengatakan Syuraik adalah perawi shaduq dan tsiqat tetapi hafalannya jelek sekali. Al-Jurjani mengatakan: Hafalannya jelek dan mudhtharib al-hadits. Dinilai Abu Zur’ah: Ia sering membuat kesalahan. Dinilai ibn Hiban: Di akhir hayatnya ia sering berbuat kesalahan, hafalannya berubah, riwayatnya di akhir usianya banyak yang meragukan. Dinilai Adi: Ia adalah perawi shaduq di samping cenderung menyimpang dari maksud utamanya, hafalannya jelek banyak membuat kesalahan dan riwayatnya mudhtharib al-hadits. Abdul Hak al-Isbahili menerangkan: Ia seorang mudallis (orang yang suka menyamarkan identitas gurunya sendiri). ibn Qatan mengatakan: Ia masyhur sebagai perawi mudallis, pada hadits ini ia meriwayatkan dari Ashim dengan pola mu’an’an, bukan dengan pola al-tahdits (haddatsana). ibn Hajar menilai: Ia perawi shaduq tetapi sering berbuat kesalahan, hafalannya berubah semenjak ia menjadi qadhi di Kufah. [Periksa: Tahdzib al-Tahdzib: 4/335-337; Mizan al-I’tidal: 3/270-274; al-Taqrib halaman 266; dan al-Jarh wa al-Ta’dil: 4/367]

Perlu ditambahkan bahwa selain kelemahan di atas, pada sanad ini juga terdapat perawi Ashim ibn Kulaib yang juga dinilai lemah atau paling tidak statusnya diperselisihkan oleh para ulama. Dengan demikian hadits kedua ini jelas lemah dan tidak boleh dijadikan hujah.
(3). Hadits Ketiga, diriwayatkan Wail bin Hujr ra.
فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ اِلَى الأَرْضِ قَبْلَ اَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ … وَ اِذَا نَهَضَ نَهَضَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَ اعْتَمَدَ عَلَى فَحِذَيْهِ (رواه ابو داود)
“Apabila Nabi sujud, beliau meletakkan kedua lututnya di bumi sebelum kedua tangannya … dan apabila beliau bangkit, maka beliau bangkit atas lututnya dan bertekan pada pahanya”. HR. Abu Daud.
Hasil penelitian: Hadits di atas dikeluarkan oleh Abu Daud dalam al-Sunan: (839) dengan sanad (mata rantai perawi) sebagai berikut: Muhammad ibn Muammar, dari Hajaj ibn Minhal, dari Hamam ibn Yahya al-Audi, dari Muhammad ibn Jahadah al-Adawi, dari Abdul Jabbar ibn Wail ibn Hujr, dari Wail ibn Hujr ra.
Sanad di atas umumnya perawi tsiqat (terpercaya) kecuali Abdul Jabbar ibn Wail ibn Hujr. Sebenarnya perawi ini juga tsiqat hanya saja ia meriwayatkan dari bapaknya secara terputus, artinya ia sendiri tidak pernah mendengar (langsung) dari bapaknya, demikian yang diterangkan oleh Abu Hatim.

Menurut pengamatan yang jeli antara Abdul Jabbar dan bapaknya terdapat al-inqata’ (terputus) karena ketika bapaknya meninggal dunia ia masih belum lahir atau ada pendapat ia masih terlalu kecil dan belum mumayiz (belum bisa membedakan antara yang baik dengan yang tidak baik). [Periksa Tahdzib al-Tahdzib: 6/105; Al-Jarh wa Al-Ta’dil: 6/30; Al-Taqrib: pada halaman 32]. Dengan demikian hadits ini juga lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
(4). Hadits Keempat, diriwayatkan Anas bn Malik ra.
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَبَّرَ فَحَاذَى بِاِبْهَامَيْهِ أُذُنَيْهِ ثُمَّ رَكَعَ حَتَّى اسْتَقَرَّ كُلُّ مُفَصَّلٍ مِنْهُ وَ انْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ حَتَّى سَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ (رواه الحاكم و الدار قطنى)
“Saya melihat Rasulullah saw. ketika bertakbir beliau mensejajarkan ibu jari kepada kedua telinganya, kemudian beliau ruku’ sehingga tiap-tiap persendian kembai kepada posisi semula, kemudian beliau memanjangkan lafaz takbir sambil turun sujud. Maka kedua lutunya mendahului kedua tangannya”. HR. Hakim dan al-Daraqutni.
Hasil penelitian: Hadits di atas dikeluarkan oleh Hakim dalam al-Mustadrak: (1/226) dengan sanad (mata rantai perawi) sebagai berikut: Ismail ibn al-Shifar, dari Abu al-Abbas ibn Muhammad al-Dauri, dari Al- Ala’ ibn Ismail al-Atthar, dari Hafsun ibn Ghiyats, dari Ashim al-Ahwal, dari Anas ibn Malik ra.

Pada sanad ini terdapat perawi al-Ala’ ibn Ismail al-Atthar. Ibn Qayyim berkata: Ia majhul. Ibn Hajar mengatakan: Abu Hatim ditanya tentang hadits yang diriwayatkan olehnya, maka ia menjawab: Hadits munkar. [Periksa Lisan al-Mizan: 4/182; Nail al-Authar: 2/293.]
Mengacu kepada keterangan di atas nyatalah bahwa hadits yang dikeluarkan Hakim dan al-Daraqutni tersebut tergolong lemah dan tidak bisa dipakai sebagai hujah untuk menetapkan harus mendahulukan lutut dari pada tangan.
Ringkasnya, keempat hadits yang dipakai dalil oleh pendapat mendahulukan meletakkan lutut sebelum tangan tidak terlepas dari kelemahan sehingga tidak mungkin dipakai sebagai hujah.
Dengan penjelasan di atas dalil-dalil yang digunakan dalam HPT dan jawaban TJA baik dalam menjawab “Jika Sujud, Tangan Atau Lutut Dulu” (jilid: I, halaman: 49), maupun “Gerakan Sujud” (Jilid V, halaman: 41), perlu ditinjau kembali.


