
HADITS SHAHIH CARA SUJUD BAGIAN 4
FORMAT BARU FATWA-FATWA TARJIH : TANYA JAWAB AGAMA
BY: DR. H. ZAINUDDIN MZ, LC., MA – NBM: 984477
DIREKTUR MARKAZ TURATS NABAWI _ PUSAT STUDI HADITS
54. HADITS SHAHIH CARA SUJUD BAGIAN 4
Status Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darawardi
Sebagaimana paparan sebelumnya, akar masalah para pemerhati hadits menilai dhaif periwayatan Abu Hurairah terkait hadits tata cara sujud lantaran di dalam sanadnya terdapat “Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi”.
Maka berikut ini dipaparkan bagaimana sebenarnya status perawi al-Darawardi dalam tinjauan jarh dan ta’dilnya.
Seyogianya untuk mengetahui perawi yang memiliki nilai ganda, yakni jarh dan ta’dil, harus dipaparkan bilai-nilai jarh secara rinci dan nilai-nilai ta’dilnya juga secara rinci, sehingga dapat diketahui “asbab jarh”nya.
Dengan mengetahui “asbab jarh” tersebut dapat dijadikan pisau analisis untuk menentukan status haditsnya, karena tidak semua nilai jarh itu qadih (mempengaruhi periwayatannya). Maka hendaknya pandai-pandai menilai jarh perawi.
Penilaian Jarh dan Ta’dil Al-Darawardi
Nadwah Mudzakkarah menilai kelemahan hadits-hadits yang mendahulukan tangan dari pada lutut sewaktu sujud bervokus kepada perawi “Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi
Berikut ini penulis nukilkan kembali cara Nadwah Mudzakkarah dalam menilai perawi tersebut:
Pada sanad di atas terdapat perawi “Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi”, yang nama lengkapnya adalah Abdul Aziz bin Muhammad bin Ubaid bin Abu Ubaid al-Darawardi Abu Muhammad al-Juhani.
Tentang perawi ini dinilai Abu Hatim: Haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Dinilai Abu Zur’ah: Hafalannya jelek. Dinilai Nasai: Hafalannya tidak kuat. Dan dinilai Ibnu Khuzaimah: Ia sering membuat kesalahan. [Periksa: Tahdzib al-Tahdzib: 6/354; Mizan al-I’tidal: 2/634; al-Kasyif: 2/210; al-Tsiqat: 7/116; al-Mughni fi al-Dhu’afa: 2/339; dan al-Jarh wa al-Ta’dil: 5/396].
Dapat dicermati bagaimana “Nadwah Mudzakkarah” hanya memaparkan nilai-nilai negatifnya, sehingga berkesimpulan: Hadits di atas “lemah dan tidak dapat dijadikan hujah”.
Sekali lagi, seharusnya secara akademis dipaparkan baik nilai al-jarh (nilai negatif) maupun al-ta’dil (nilai positif) secara transparan, kemudian dengan berbagai pendekatan, diharapkan mampu ditentukan statusnya dengan seksama.

Berikut ini penulis nukilkan penilian tiga pakar dalam ilmu al-jarh dan al-ta’dil. Pertama, Abdurrahman bin Abu Hatim (- 327 H) dalam bukunya Al-Jarh wa al-Ta’dil (p. 5: 396). Kedua, Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Dzahabi (-748 H) dalam bukunya Mizan al-I’tidal (p. 2: 634). Ketiga, Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (-852 H) dalam bukunya Tahdzib al-Tahdzib (p. 6: 354).
Inilah tiga pakar kritikus perawi hadits pada zamannya, abad ke-4, ke-8, dan ke-9 dalam hal kepiawaian memaparkan nilai-nilai positif maupun negatif para perawi hadits.
Menurut hemat penulis selain itu hanya berputar-putar kepada karya ketiga pakar di atas, kecuali sebagaian yang tidak kita nafikan juga memiliki nilai tambah. Dan buku-buku itu pula yang dijadikan rujukan utama oleh Nadwah Mudzakkarah, walaupun dilengkapi dengan lainnya seperti al-Kasyif, al-Tsiqat dan lainnya.

1. Penilaian Abdurrahman bin Abu Hatim (-327 H)
Abdurrahman bin Abu Hatim dalam bukunya Al-Jarh wa al-Ta’dil, mendeskripsikan sebagai berikut. Mushab bin al-Zubairi: Malik bin Anas menilai al-Darawardi adalah perawi tsiqat; Ahmad bin Hanbal: Semua yang diriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar hakekatnya adalah dari Abdullah bin Umar; Abu Thalib: Ahmad bin Hanbal ditanya perihal Abdul Aziz al-Darawardi. Jawabnya: Ia terkenal dengan al-thalab, bilamana meriwayatkan dari bukunya sendiri shahih, tetapi apabila meriwayatkan dari kitab orang lain dia salah, dia sering meriwayatkan dari buku orang lain dan salah, kadang meruba nama Abdullah bin Umar al-Umri dengan nama Ubaidillah bin Umar; Yahya bin Ma’in: Al-Darawardi lebih kuat daripada Fulaih, putra Abu al-Zinad dan Abu Uwais; Yahya bin Ma’in: Abdul Aziz al-Darawardi adalah perawi saleh, laisa bihi ba’sun; Abdurrahman: Bapakku (Abu Hatim) ditanya perihal Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi dan Yusuf bin al-Majisyun. Jawabnya: Abdul Aziz adalah muhaddits (tokoh hadits) sedangkan Yusuf statusnya adalah syaikh; Abu Zur’ah: Abdul Aziz al-Darawardi lemah hafalan, kadang meriwayatkan hadits dari hafalannya lalu salah.
2. Penilaian Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (-748 H)
Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Dzahabi dalam bukunya Mizan al-I’tidal mendeskripsikan sebagai berikut: Ahmad bin Hanbal: Apabila meriwayatkan dari hafalannya ia salah, laisa huwa bisya’in, namun apabila meriwayatkan dari kitabnya sangat akurat. Katanya pula: Apabila meriwayatkan dari hafalannya ia sering mendatangkan riwayat-riwayat yang batil; bin Ma’in: Tsiqatun tsabtun; Abu Hatim: Tidak dapat dijadikan hujah; Yahya bin Ma’in: Dia lebih baik dari pada Fulaih; Abu Zur’ah: Lemah hafalannya; Ma’an bin Isa: Al-Darawardi pantas menyandang predikat amirul mukminin. Dan kesimpulan penilaian al-Dzahabi sendiri adalah shaduq min ulama Madinah, lainnya lebih kuat dari pada dia.

3. Penilaian bin Hajar al-Asqalani (-852 H)
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani dalam bukunya Tahdzib al-Tahdzib mendeskripsikan sebagai berikut: Mushab al-Zubairi: Imam Malik menilai al-Darawardi adalah perawi tsiqat (terpercaya); Ahmad bin Hanbal: Ia terkenal dengan al-thalab, bilamana meriwayatkan dari bukunya sendiri shahih, tetapi apabila meriwayatkan dari kitab orang lain dia salah, dia sering meriwayatkan dari buku orang lain dan salah, kadang merubah nama Abdullah bin Umar al-Umri dengan nama Ubaidillah bin Umar; bin Ma’in: Al-Darawardi lebih kuat dari pada Fulaih, putra Abu al-Zinad, dan Abu Uwais; Katanya pula: Laisa bihi ba’sun; Katanya pula: Tsiqat hujah; Abu Zur’ah: Lemah hafalannya dan kadang meriwayatkan dari hafalannya ia salah; bin Abi Hatim: Bapak saya (Abu Hatim) ditanya perihal Yusuf bin al-Majisyun dan al-Darawardi, jawabnya: Abdul Aziz seorang perawi yang berpredikat muhaddits (ahli hadits), sedangkan Yusuf berpredikat syaikh; Nasai: Laisa biqawi; Katanya pula: Laisa bihi ba’sun dan periwayatannya dari Ubaidillah bin Umar adalah munkar (yang benar adalah Abdullah bin Umar al-Umri, pent.). Dan kesimpulan penilaian bin Hajar sendiri adalah shaduq .
4. Analisis Kredibilitas al-Darawardi
Dari paparan al-jarh dan al-ta’dil terhadap Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, nilai cacat al-Darawardi hanya pada aspek kedhabitan (kecermatan hafalannya), bukan pada aspek keadilannya (kredibilitasnya). Harus difahami bahwa setiap perawi hadits itu dinilai pada dua aspek. Aspek keadilan dan aspek kedzabitan (kecermatan). Apabila cacat perawi pada aspek keadilannya, maka periwayatannya tertolak, namun apabila cacat pada aspek kecermatannya, akan dirinci apakah dia menyendiri dalam periwayatannya atau ada kesaksian periwayatan yang lain atau apakah nilai negatifnya itu relevan dengan periwayatan hadits?. Pada paparan di atas terbukti Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi menyandang predikat ulama Madinah, tsiqat, muhaddits (ahli hadits) bahkan ada yang memberi predikat amirul mukminin.
Kedua, cacat ke-dhabitan al-Darawardi apabila meriwayatkan dari hafalannya atau kitab orang lain, adapun periwayatan dari kitabnya sendiri tidaklah disangsikan kebenarannya. Itulah sebabnya imam Ahmad menyatakan: “Ia terkenal dengan al-thalab, bilamana meriwayatkan dari bukunya sendiri shahih, tetapi apabila meriwayatkan dari kitab orang lain dia salah, dia sering meriwayatkan dari buku orang lain dan salah”. Terkait dengan pokok masalah tata cara sujud dapat diketahui bahwa al-Darawardi dalam menerima hadits dari gurunya Muhammad bin Abdullah bin Hasan maupun ketika menyampaikan hadits tersebut kepada muridnya Sa’id bin Mansur dan Marwan bin Muhammad (lihat skema takhrij hadits) dengan lafaz al-tahdits (haddatsana), bukan dengan lafaz al-ihbar (ahbarana). Ini menunjukkan bahwa al-Darawardi ketika menerima hadits dari gurunya maupun menyampaikan hadits tersebut kepada muridnya dengan mengandalkan bukunya sendiri, bukan dengan hafalan. Dengan demikian cacat hafalannya tidak pada tempatnya untuk melemahkan hadits ini. Seperti inilah kejelian yang tidak boleh dilupakan, sehingga nilai negatif tidak selamanya berdampak kepada lemahnya hadits bila ditemukan pokok permasalahannya. Artinya kalau al-Darawardi terbukti menerima dan menyampaikan hadits dengan hafalannya maka haditsnya lemah, namun kalau dia meriwayatkan dengan bukunya sendiri maka haditsnya shahih. Dalam hal ini al-Darawardi meriwayatkan dengan bukunya sendiri, bukan dari hafalannya.

Ketiga, penilaian Nasai bahwa al-Darawardi haditsnya munkar sekiranya ia meriwayatkan kepada gurunya yang bernama Abdullah bin Umar yang dirubah menjadi Ubaidillah bin Umar, dalam kasus ini al-Darawardi tidak meriwayatkan dari Abdullah bin Umar atau Ubaidillah bin Umar melainkan dari gurunya yang bernama Muhammad bin Abdullah bin Hasan. Dengan demikian penilaian “munkar” dari Nasai tidak masuk dalam kajian hadits ini dan tidak boleh digeneralisir. Predikat inilah yang paling keras, dan itu dapat dimaklumi karena Nasai tergolong al-mutasyadidin dalam pengelompokan ulama kritikus hadits.
Keempat, untuk hadits kedua memang guru al-Darawardi adalah Ubaidillah bin Umar. Maka sesuai dengan penilaian negatif ulama hadits ini dinilai munkar, karena al-Darawardi sering mengganti identitas gurunya. Yang semestinya Abdullah bin Umar perawi lemah diganti dengan Ubadillah bin Umar perawi tsiqah. Disinilah letak kesalahan al-Darawardi yang akhirnya divonis Nasai: Munkarul hadits. Dengan demikian sanad hadits ini memang lemah dan haditsnya menjadi hasdits dhaif.
Kelima, dengan demikian seluruh nilai negatif diberlakukan apabila merujuk kepada hafalan al-Darawardi atau periwayatan kepada gurunya yang bernama Abdullah bin Umar al-Umri, atau periwayatannya dari buku orang lain, dan semua nilai jarh tersebut tidak terbukti untuk melemahkan pariwayatan al-Darawardi dalam tata cara sujud dengan demikian tidaklah berlebihan bila riwayat ini maqbul (dapat dijadikan hujah).
Keenam, sebagaimana telah diuraiakan di depan bahwa al-Darawardi tidaklah menyendiri dalam periwayatan hadits ini. Ia mempunyai saksi periwayatan baik berupa syawahid maupun tawabi’ yang akan diuraikan lebih lanjut pada masalah takhrij hadits. Bilamana hanya periwayatan al-Darawardi sudah dinilai sah, apalagi ketika diperkuat dengan periwayatan lainnya.
Ketujuh, perlu diketahui bahwa Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi juga merupakan rijal al-shahihaini. Artinya dia tercantum dalam sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Apabila penilaian dhaif itu digeneralisir, maka ditemukan sejumlah hadits dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang dhaif, karena di dalam sanad (mata rantai perawinya) terdapat Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi.
Di Shahih Muslim saja ditemukan 73 buah hadits, yakni hadits nomor 135, 160, 189, 216, 325, 327, 566, 587, 608, 686, 780, 839, 960, 1014, 1883, 2064, 2163, 2172, 2224, 2293, 2296, 2340, 2667, 2747, 2768, 2827, 3379, 3401, 3418, 3435, 3555, 3834, 4062, 4329, 4338, 4496, 4575, 4584, 4585, 4586, 4876, 5069, 5335, 5441, 5499, 5669, 5686, 5775, 5789, 5818, 5828, 6356, 6400, 6440, 6453, 6579, 6662, 6700, 6702, 6710, 6867, 6874, 6876, 6910, 6932, 7175, 7300, 7384, 7491, 7492, 7517, 7606, dan 7673.

Kedelapan: Sebagai contoh hadits dalam Shahih Muslim nomor: 135 dengan redaksi sebagai berikut:
135 – حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّىُّ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِى الدَّرَاوَرْدِىَّ عَنِ الْعَلاَءِ ح وَحَدَّثَنَا أُمَيَّةُ بْنُ بِسْطَامَ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا رَوْحٌ عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْقُوبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَيُؤْمِنُوا بِى وَبِمَا جِئْتُ بِهِ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ.
Hadits di atas dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab al-Shahih nomor: 135 dari Ahmad bin Abdah a bin Zurai’l-Dhabbi dari Abdul Aziz al-Darawardi dari al-Ala’ [h] dan diriwayatkan Umaiyah bin Bistham dari Yazid bin Zurai’ dari Rauh dari al-Ala’ bin Abdurrahman bin Yakqub dari bapaknya dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda: Saya diperintah memerangi umat sampai mereka mau berikrar tidak ada tuhan selain Allah, percaya kepada saya dan apa saja yang saya bawakan. Apabila mereka telak melaksanakannya, maka mereka itu terjaga darahnya, dan hartanya dariku, kecuali dengan hak keislamannya, adapun perhitungan (konsistensi syahadatnya) adalah urusan Allah (apakah dia berikrar karena ketulusan atau kemunafikan belaka, hanya Allah yang mengetahui dan mengganjarnya).
Di dalam sanad (mata rantai perawi) hadits di atas ada yang bernama Abdul Aziz al-Darawardi, sekiranya nilai kedhaifannya digeneralisir maka contoh hadits yang ada di Shahih Muslim itu pun juga dhaif. Disinilah kelemahan metode “Nadwah Mudzakarah”.


