* ALHAMDULILLAH * ARTIKEL ILMIAH, KAJIAN TEMATIK & BUKU-BUKU TERBARU * TERBIT SETIAP HARI JUM'AT *

TURATS NABAWI

HUKUM MENUNTUT ILMU UMUM DAN AGAMA

HUKUM MENUNTUT ILMU UMUM DAN AGAMA

PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)

PENDAHULUAN

Dalam kajian hadits, ada yang dikategorikan wilayah tauqifiyah, dan ada juga yang dikategorikan wilayah kauniyat. Pada wilayah tauqifiyah penentuan hukum disandarkan pada teks-teks keagamaan, bukan dengan payung liberalisasi, kesetaraan gender, demokrasi, rasionalisasi, keadilan versi nalar manusia bahkan sampai pada doktrin hak azazi manusia.

HADITS TAUQIFIYAH

Misalnya, dalam hal hukum potong tangan, maka murni dituntut untuk menentukan hukumnya dibangun dengan teks-teks hadits Nabi saw. Maka segala hasil ijtihad harus diabaikan, dan nalar manusia dipasung sedemikian rupa, yang ada tinggal sami’na wa atha’na (kami dengarkan dan kami patuhi).

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Aisyah dipaparkan sebagai berikut:

عن عائشةرضى الله عنها قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: تقطع يد السارق فى ربع دينار فصاعدا

Dinarasikan Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: Tangan mencuri dipotong pada kadar pencurian sebesar seperempat dinar atau lebih.Hr. Abdurrazaq 10/235: 18961; Ibn Abi Syaibah 7/297: 36236; Bukhari 6/2492: 6407; Abu Daud 4/136: 4383; Nasai dalam al-Kubra 4/336: 7403; Ibn Majah 2/862: 2585; Turmudzi 4/50: 1445 dan hadits ini dinilainya “hasan shahih”; Ibn Hibban 10/309: 4455; Malik 2/832: 1520’ Ahmad 6/36: 24125; Khumaidi 1/134: 279; Daraqutni 3/189).

Satu dinar pada zaman Nabi saw. adalah sepadan dengan nilai harga seekor kambing. Jika dinominalkan saat ini seekor kambing seharga dua juta, maka seperempatnya adalah senilai lima ratus ribu rupiah.

Tentunya tidak spontan pencurian sebesar itu otomatis berdampak kepada hukum potong tangan, melainkan ada proses pertobatan terlebih dahulu dan harus difahami secara kasuistik, sebab jika seseorang mencuri sebatas untuk memenuhi kebutuhan menyambung kehidupannya dan dalam kasus darurat, maka pencuri tersebut tidak terkena hukum potong tangan, justru pihak penguasa yang harus introspeksi kenapa sampai ada komunitasnya yang harus mencuri untuk dapat mempertahankan kehidupannya? Mereka semestinya mensubsidinya, bukan malah menjatuhkan hukuman potong tangan.

Pola fikir seperti ini tempo dulu dianggap tidak memihak kepada keadilan, tidak berprikemanusiaaan, tidak rasional, bahkan bertentangan dengan doktrin hak azazi manusia?! Pemikirnya dikategorikan ekstrim kanan, bahkan dituduh sebagai muslim fundamentalis. Di negara Cina, yang lebih dikenal atheis bahkan komunis justru telah menerapkan hukum mati bagi koruptor. Dampaknya hukuman ini dirasakan cukup memberi pelajaran bagi pelaku korupsi, melahirkan aspek jera bagi pelakunya dan akhirnya dapat mengurangi kasus korupsi secara signifikan. Kini bangsa Indonesia mewacakan hukum mati tersebut. Pertanyaannya, lebih manusiawi mana, hukum potong tangan atau hukum mati?!

Sayang di antara muslim intelek indonesia, ada yang memahami hukum potong tangan, tidak dimaknai secara denotatif, melainkan difahami secara konotataif. Lagi-lagi alasannya dianggap tidak rasional, tidak pro pada hak azazi manusia dan sebagainya. Hukum potong tangan lebih difahami sekedar pemotongan jabatan, kekuasaan, pangkat dan sejenisnya.

Berangkat dari sebuah ilustrasi kasus, seorang hakim mengadili pencuri yang terlah terbukti mencuri sekian banyak mobil, bahkan ketika ditanya oleh hakim mobil dengan nopol miliknya yang hilang juga telah diakui oleh pencuri tersebut, maka berdasarkan draf undang-undang yang akan dilegalitas, hakim berkata: Karena anda telah terbukti mencuri, maka hukuman anda tidak potong tangan, melainkan potong pangkat, kedudukan, jabatan atau kekuasaan. Pertanyaannya, apa jabatan anda? Pencuri itu menjawab: Saya tidak mempunyai jabatan, pangkat dan kekuasaan, satu-satunya jabatan saya adalah kepala keluarga. Apakah akan diturunkan menjadi anak keluarga?!

Dalam kasus hukum seperti di atas, maka murni harus menggunakan payung ilmu agama, dalam hal ini adalah Al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw. Tidak mungkin dengan payung ijtihad atau rasional, keadilan versi manusia, takaran doktrin hak azazi manusia dan sebagainya, setiap muslim dipasung otaknya dengan konsep “sami’na wa atha’na”.

HADITS KAUNIYAH

Hal ini sangat berbeda dengan pemahaman hadits-hadits pada wilayah kauniyat, justru kemampuan intelektual sangat dibutuhkan, maka penentuan hukum sangat menuntut berbagai keilmuan umum yang relevan dengan masalahnya.

Misalnya dalam menentukan hukum kapan umat Islam memulai berpuasa Ramadhan, payung hukumnya awalnya memang sabda Nabi saw.:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا شعبان ثلاثين

Rasulullah saw. bersabda: Mulailah berpuasa dengan merukyat hilal, dan akhirilah juga dengan merukyat hilal. Jika pandanganmu terhalang mendung, maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban sebanyak tiga puluh hari. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, yang dikeluarkan oleh Bukhari 2/674: 1810; Muslim 2/762: 1081; Nasai 4/133: 2117; Ibn Hibban 8/238: 3457; Ahmad 2/430: 9552. Diriwayatkan Barra’ ibn Azib, yang dikeluarkan Thabrani 2/25: 1175. Dan diriwayatkan ibn Abbas, yang dikeluarkan Nasai 4/135: 2124.

Hadits di atas merupakan hadits shahih, idealnya tidak dikategorikan wilayah tauqifiyah, melainkan dikategorikan wilayah kauniyah, sehingga cara merukyatnya tidak secara natural, sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah saw., melainkan dilakukan dengan menggunakan imtek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Pertimbangannya sangat banyak, di antaranya: Pertama, kondisi geografis yang membuat muslim Indonesia tidak mampu merukyat hilal jika posisinya masih terlalu rendah. Dahulu bangsa Indonesia baru mampu merukyat jika ketinggian hilal mencapai tujuh derajat, kemudian ditemukan tempat yang lebih srategis, maka dengan ketinggian lima derajat sudah dapat merukyat hilal, kemudian ditemukan tempat yang lebih strategis lagi, sehingga ketinggian tiga derajat sudah dapat merukyat hilal, kemudian ditemukan tempat yang lebih strategis lagi, sehingga ketinggian dua derajat sudah dapat merukyat hilal, kemudian ditemukan tempat yang lebih strategis lagi, sehingga ketinggian satu derajat sudah ada yang merukyat hilal. Mudah-mudahan di kemudian hari ditemukan tempat yang lebih strategis lagi, sehingga dengan ketinggian hilal setengah derajat atau kurang dari itu sudah dapat dirukyat. Kedua, kondisi cuaca Indonesia yang sering menutupi hilal padahal ketinggiannya sudah sangat signifikan. Ketiga, kelembaban yang tinggi sehingga mempersulit merukyat cahaya yang berbeda jika seseorang berdomisili di Timur Tengah. Keempat, adanya qarinah bahwa merukyat dengan cara natural seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dikarenakan keterbatasan keilmuan umum. Hal ini dapat difahami dari sabda Nabi saw. sebagai berikut:

عن ابن عمررضى الله عنه قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا وهكذا يعنى مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين

Dinarasikan ibn Umar ra., Rasululah saw. bersabda: Kami adalah umat yang masih ummi, tidak dapat menulis dan tidak dapat menghisab. Bilangan bulan ini adalah kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang tiga puluh hari. Hr. Bukhari 2/675: 1814; Muslim 2/761: 1080; Abu Daud 2/296: 2319; Nasai 4/139: 2140; Ibn Abi Syaibah 2/332: 9604; Ahmad 2/43: 5017; Abu Nu’aim dalam al-Mustakhrajat 3/157: 2425; Baihaqi 4/250: 7989.

Sudah lama umat Islam diperintah oleh Allah swt. untuk belajar ilmu hitung (ilmu hisab), hal ini dapat dicermati dari firman Allah sebagai berikut:

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ

Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan (ilmu hisab). (Qs. al-Rahman: 5).

وَآيَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِوَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ

Suatu tanda kekuasan Allah yang besar bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang maha perkasa lagi maha mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga setelah dia sampai kemanzilah yang terakhir, kembalilah dia sebagai bentuk tanda yang tua (maksudnya bulan itu pada awal bulan, kecil berbentuk sabit, kemudian sesudah menempati manzilah-manzilah, dia menjadi purnama, kemudian pada manzilah terakhir, kelihatan seperti tandan kering yang melengkung). Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahui siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Qs. Yasin: 37-40).

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Dia yang menjadikan matahari bersinar, dan bulan bercahaya, dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui. (Qs. Yunus: 5).

Berangkat dari ayat-ayat dan hadits-hadits di atas, maka tidak salah jika masalah merukyat hilal dikategorikan wilayah kauniyah. Maka untuk bisa membuat kalender tahunan, bahkan seumur hidup, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah swt. Dibutuhkan seperangkat ilmu umum yang ada relevansinya, seperti ilmu geografi, ilmu kosmografi, ilmu astronomi, ilmu falak dan sebagainya yang endingnya kesemua disiplin itu mengkrucut pada ilmu hitung atau ilmu hisab.

Maka dengan ilmu itulah diharapkan kita mampu untuk menetapkan hukum kapan datangnya awal Ramadhan dan akhir Ramadhan, bahkan dapat membuat kalender seumur hidup. Jika merukyat dilakukan secara natural (seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.), maka hasilnya hanya mampu membuat kalender bulanan, sebab untuk mengetahui bulan berikutnya dituntut untuk merukyat di akhir bulan terlebih dahulu.

Kemudian hadits merukyat bukan hanya merukyat hilal. Untuk adzan Subuh dibutuhkan merukyat fajar shadiq. Untuk adzan Dhuhur dibutuhkan merukyat bayang-bayang matahari. Untuk adzan Ashar sedemikian pula. Untuk adzan Maghrib dibutuhkan merukyat tenggelamnya matahari. Dan untuk adzan Isya’ juga dibutuhkan merukyat hilangnya syafaq. Jika hadits-hadits merukyat di atas tidak dikategorikan wilayah kauniyah, alangkah sulitnya umat muslim Indonesia untuk mengaplikasikan hadits-hadits rukyat tersebut. Disinilah perlunya ilmu-ilmu umum untuk menetapkan hukum Islam. Wallah a’lam.

KESIMPULAN

Dengan kearifan dan berbagai qarinah seseorang tentu dapat memilah, apakah suatu hadits masuk wilayah tauqifiyah, yang aplikasinya murni didasari wahyu-wahyu ilahi (ilmu-ilmu agama), dan apakah suatu hadits masuk wilayah kauniyah, yang aplikasinya didukung ilmu-ilmu umum yang relevan dengannya. Semoga hasil ijtihad tersebut jika masih salah, tetap pelakunya mendapatkan satu pahala, dan jika benar maka dia mendapatkan dua pahala, sebagaimana yang dijanjikan oleh Rasulullah saw.

SILAHKAN SHARE SEMOGA BERMANFAAT :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: MAAF !!