* ALHAMDULILLAH * ARTIKEL ILMIAH, KAJIAN TEMATIK & BUKU-BUKU TERBARU * TERBIT SETIAP HARI JUM'AT *

TURATS NABAWI

KAMI ADALAH UMAT YANG UMMI

KAMI ADALAH UMAT YANG UMMI

PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)

TEKS HADIS: Inna ummatun ummiyyah, la naktubu wa la nahsubu. Al-Syahru hakadza wa hakadza.

TERJEMAHAN: Kami adalah umat yang masih ummi, tidak pandai menulis dan tidak pandai ilmu hisab. Hitungan bulan itu kadang begini dan kadang begini, yakni kadang berjumlah dua puluh sembilan, kadang berjumlah tiga puluh hari.

TATUS HADIS: Hadis shahih.

TAKHRIJ HADIS: Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibn Umar. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Ibn Abi Syaibah, Ahmad, Abu Nu’aim dalam Mustakhraj  Shahih Muslim dan Baihaqi. Pada akhirnya Rasulullah saw. menyatakan: Maka mulailah berpuasa Ramadhan dengan merukyat hilal, dan berbukalah (berhari raya idul fitri) juga dengan merukyat hilal. Sekiranya pandangan mata terhalang oleh awan, maka sempurnakan bilangannya menjadi tiga puluh hari.

PENJELASAN HADIS: Pernyataan Rasulullah saw. di atas terkait dengan tata cara memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan. Pada awalnya untuk memulai puasa Ramadhan Allah telah berfirman: Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Qs. Ali Imran: 185). Untuk mengetahui awal bulan itulah Rasulullah saw. memberi penjelasan: Maka mulailah berpuasa Ramadhan dengan merukyat hilal, dan berbukalah (berhari raya idul fitri) juga dengan merukyat hilal. Sekiranya pandangan mata terhalang oleh awan, maka sempurnakan bilangannya menjadi tiga puluh hari. Dengan demikian semua umat Islam sepakat bahwa untuk mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan adalah dengan “merukyat hilal”. Yang menjadi perbedaan adalah pola memahami hadits tersebut. Ada yang memahaminya sebagai wilayah tauqifiyah, dan ada juga yang memahaminya sebagai wilayah kauniyah. Bagi kelompok yang memahami hadits tersebut sebagai wilayah tauqifiyah, maka cara murukyat hilal harus sama dengan cara yang dilakukan oleh Rasulullah saw., yakni rukyat natural, melihat langsung dengan mata telanjang. Dan sekiranya tidak dilakukan sedemikian rupa maka dipandang bid’ah (tidak sesuai dengan aturan Rasul). Berbeda dengan kelompok kedua yang memahami hadits tersebut sebagai wilayah kauniyah, maka untuk merukyat hilal dibutuhkan inovasi, kreasi dan modifikasi. Qarinah yang digunakan adanya pernyataan Nabi sendiri bahwa beliau yang menyatakan “Kami adalah umat yang masih ummi, tidak pandai menulis dan tidak pandai ilmu hisab”. Padahal perintah mendalami hisab sudah ditegaskan dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Qs. Yunus: 5). Dengan pola berfikir seperti ini kelompok kedua menawarkan inovasi dan kreasi agar merukyat tidak lagi menggunakan rukyat natural, malainkan menggunakan rukyat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Rukyat dengan keilmuan inilah yang melahirkan ilmu hisab dan rukyat dengan teknologi melahirkan berbagai media untuk dijadikan sarana mempermudah melihat hilal, seperti kaca mata, teropong bintang dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik kelompok pertama maupun kelompok kedua mendasari hadits yang sama, perbedaannya pada wilayah memahami hadits tersebut.

Referensi: Lebih lanjut silakan merujuk referensi berikut ini: Maqashid: 99. Durar: 130. Tamyiz: 34. Kasf: 1/201, 205. Asrar: 165. Bukhari: 1814. Muslim: 1080. Abu Daud: 2319. Nasai: 2140. Ibn Abi Syaibah: 9604. Ahmad: 4017. Abu Nu’aim dalam Mustakhraj  Shahih Muslim: 2425. Baihaqi: 7989.

SILAHKAN SHARE SEMOGA BERMANFAAT :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: MAAF !!