
KERAMAS DALAM MANDI JINABAT
KERAMAS DALAM MANDI JINABAT
PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)
TEKS HADIS: Tahta kulli sya’ratin jinabatun, faghsilu al-sya’ra wa anqu al-basyarah.
TERJEMAHAN: Setiap rambut terkena hukum jinabat. Maka basuhlah seluruh rambutmu dan bersihkan seluruh kulitmu.
STATUS HADIS: Hadis Dhaif.
TAKHRIJ HADIS: Hadits di atas diriwayatkan (1) Abu Hurairah, (2) Hasan (3). Abu Ayyub al-Anshari (4). Aisyah. Hadits riwayat Abu Hurairah dikeluarkan Abu Daud, Turmudzi, Ibn Majah, dengan redaksi “inna kulli tahta kulli sya’ratin janabatun, faghsilu al-sya’ra wa anqu al-basyarata”. Hadits riwayat Hasan dinarasikan secara al-mursal (gugur perawi sahabat) dikeluarkan Abdurrazaq, Ibn Abi Syaibah, dengan redaksi “Tahta kulli sya’ratin janabatun, faghsilu al-sya’ra wa anqu al-basyarata”. Hadits riwayat Abu Ayyub al-Anshari dikeluarkan Ibn Majah, Bushiri, Mirwazi, Thabari, Baihaqi dalam Syu’abil iman, Ibn Asakir, Thabrani, dengan redaksi “al-shalawatu al-khamsu wa al-jumu’ah ila al-jumu’ah wa adau al-amanah kaffaratun lima bainaha. Qila wa ma adau al-amanah qala al-ghuslu min al-janabah fa inna tahta kulli sya’ratin janabah”. Hadits riwayat Aisyah dikeluarkan Ahmad. Hadits periwayatan Abu Hurairah dinilai oleh kodifikatornya sendiri hadits dhaif. Menurut Abu Daud: Dalam sanad (mata rantai perawinya) ada yang bernama al-Harits ibn Wajih, haditsnya munkar dan lemah. Menurut Turmudzi: Hadits al-Harits ibn Wajih adalah hadits gharib (lemah) kami tidak pernah meriwayatkan kecuali dari dia, dia berpredikat syaikh laisa bidzaka. Hadits periwayatan Hasan merupakan hadits al-mursal (gugur perawi sahabatnya). Hadits periwayatan Abu Ayyub dalam sanadnya (mata rantai perawinya) ada yang cacat. Ibn Hajar dalam al-Talhis al-Habir, menilianya hadits dhaif. Hadits periwayatan Aisyah perawinya memang orang-orang terpercaya, namun masih ada yang tidak dikenal identitasnya.
PENJELASAN HADITS: Sungguh menakjubkan, ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. penuh dengan unsur kesederhanaan. Akhirnya menjadi ribet biasanya karena campur tangan atau intervensi pemikiran manusia atau dasar hukum yang yang digunakan tidak valid, sehingga keluar dari fitrah keislaman itu sendiri. Penulis teringat seorang muballigh yang menyampaikan hadits di atas di hadapan jamaah ibu-ibu. Bahwa salah satu tata krama dalam mandi jinabat diharuskan “keramas”. Tentu bagi ibu-ibu karir yang pagi-pagi harus pergi ke tempat dinasnya merasa keberatan untuk keramas, bahkan wanita yang kebiasaan domisili di rumah pun merasa keberatan, menjelang Subuh harus keramas, apalagi kalau tempat tinggalnya di wilayah yang sangat dingin. Akhirnya sang muballigh cukup cerdas, ia menyarankan ibu-ibu agar keramasnya dilalukan di malam hari, sehingga di pagi harinya tidak perlu keramas lagi. Namun jama’ah ibu-ibu tampaknya lebih cerdas, mereka menanyakan apa mungkin dalam thaharah (kesucian) dicicil seperti itu, bukankah dalam tata cara kesucian ada aspek al-muwalat dan al-tartib? Itulah yang membuat sang muballigh angkat tangan untuk memberikan solusi terbaik bagi mereka. Padahal kalau mau menyadari hadits di atas adalah hadits dhaif (hadis lemah).
Kalau dikonfirmasikan dengan hadits yang shahih, maka sesungguhnya tata krama mandi jinabat tidaklah sesulit itu. Mari kita perhatikan hadits yang dinarasikan Umu Salamah (istri Rasulullah): Saya bertanya, wahai Rasulullah. Sesungguhnya saya seorang yang menyanggul rambut kepala karena lebatnya, apakah saya harus mengurainya ketika mandi jinabat. Dalam riwayat lain, untuk mandai tuntas dari haid? Rasulullah saw. bersabda: Tidak perlu. Cukup bagimu agar anda menungkan air di atas kepalamu tiga tuangan”. Hr. Abdurrazaq: 1046. Ahmad: 26719, Abu Daud: 251. Turmudzi: 105, hadits ini dinilai “hasan shahih”, Nasai: 241. Ibn Majah: 603, Muslim: 330. Humaidi: 294. Ishak ibn Rahawaih: 37. Dengan adanya hadits yang shahih seperti ini, apakah terlalu sulit untuk menjalankan keislaman? Kecuali dalam suatu masalah yang tidak ditemukan hadits shahih, yang ada hanya hadits dhaif. Maka ulama ada toleransi untuk menggunakan hadits itu ketimbang murni mengandalkan pemikiran biasa. Namun jika sudah ditemukan hadits yang shahih, kenapa berpaling kepada hadits dhaif.
REFERENSI: Lebih lanjut silakan merujuk referensi berikut ini: Maqashid: 153. Tamyiz: 55. Kasf: 1/298. Abu Daud: 248. Turmudzi: 106. Ibn Majah: 597. Abdurrazaq: 1002. Ibn Abi Syaibah: 1065. Ibn Majah: 598. Bushiri: 1/82. Mirwazi: 511. Thabari: 3989. Baihaqi dalam Syu’abil iman: 2748. Ibn Asakir: 38/229. Thabrani: 732. Ahmad: 24841.

