TURATS NABAWI

KEUTAMAAN MERAWAT ORANG TUA DIKALA RENTA

KEUTAMAAN MERAWAT ORANG TUA DIKALA RENTA

PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)

Dalam bahasa agama dikenal hak dan kewajiban, yang akhirnya juga diberlakukan dalam berbagai institusi baik dalam perkara perdata maupun tindak pidana. Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ، فَقَالَ: يَا مُعَاذُ، هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ، وَمَا حَقُّ العِبَادِ عَلَى اللَّهِ؟، قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى العِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ العِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

Mu’adz bin Jabal ra. berkata: Aku membonceng Rasulullah saw. di atas keledai Ufair. Nabi saw. bersabda: Wahai Mu’adz, tahukah anda apa hak hamba terhadap Allah? Aku menjawab: Allah dan RasulNya lebih mengetahui. Sabdanya: Hak Allah terhadap hambanya agar mereka beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Dan hak hamba terhadap Allah agar tidak disiksa orang yang tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Hr. Bukhari: 562; Muslim: 30; Tirmidizi: 2643; Ibnu Majah: 4296; Ibnu Hibban: 362; dan Ahmad: 22149.

Dari paparan hadits di atas dapat difahami sebelum seorang hamba berkenan mendapatkan hak, yakni tidak akan disiksa Allah swt., ia diwajibkan untuk mentauhidkan Allah swt. baik pada aspek tauhid Uluhiyah, Rububiyah, maupun Ubudiyah dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.

Begitulah filosofis kehidupan manusia. Seseorang dituntut untuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan padanya, yang pada gilirannya dia selayaknya mendapatkan hak-hak sebagai akibat ketaataan pengabdiannya.

Hak orang tua terhadap anak tentunya harus mendapatkan perlakuan yang baik, perlindungan dan kasih sayang. Apalagi hak ibu yang selayaknya mendapatkan porsi tiga kali dibanding bapak. Sebagaimana yang disinyalir dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra.

أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ

Abu Hurairah ra. berkata: Seseorang (dia adalah Mu’awiyah bin Haidah kakek Bahaz bi Hakim) menghadap Rasulullah saw. seraya berkata: Wahai Nabi, siapa orang yang lebih layak aku perlakukan dengan kebaikan? Nabi saw. menjawab: Ibumu. Katanya: Lalu siapa? Sabdanya: Ibumu. Katanya: Lalu Siapa? Sabdanya: Ibumu. Katanya: Lalu siapa? Sabdanya: Lalu bapakmu. Hr. Bukhari: 5971.

Menurut rasio, bapak tentunya yang lebih layak untuk mendapat hak perlakuan dengan baik dari anak-anak. Merekalah yang memberi nafkah, mengayomi, bahkan istri dibebankan taat kepadanya. Namun orang pintar harus menyadari kodrat kasih sayang ibu terhadap anak tidaklah sebanding dengan bapak. Maka sangat tidak etis lelaki menuntut kesetaraan gender dalam kasus seperti ini.

Hak orang tua untuk mendapatkan kasih sayang dari anak sedemikian rupa walaupun orang tua masih dalam kondisi prima dan muda. Sampai kata-kata “ah” tidak layak diucapkan anak di hadapan orang tua, apalagi sampai membentaknya. Sebagaimana yang difirmankan Allah swt.:

فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua orang tua perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang santun. (Qs. Al-Isra’:23).

Jika dalam kondisi orang tua prima sudah sedemikian hebatnya hak orang tua dari anaknya, apalagi ketika mereka telah berusia renta. Kondisi fisik dan psikologisnya telah menurun. Jangankan mereka mengayomi anak-anaknya. Terhadap dirinya sendiri sudah tidak mampu. Lalu siapa lagi yang diharapkan menyayanginya jika hak mereka terabaikan.

Itulah sebabnya kewajiban anak untuk lebih kasih dan sayang terhadap orang tua yang telah renta disetarakan dengan urusan teologis, yakni ketauhidan Ubudiyah yang hanya untuk Allah. Sebagaimana firman Allah swt.:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا

Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur renta dalam pemeliharaanmu.

Maka terlalu naif bagi orang tua untuk menuntut berbagai hak kebaikan dan kasih sayang dari anak kandungnya sendiri, sementara hak-hak mereka tidak ditunaikan oleh orang tua.

Kebutuhan anak bukan hanya aspek nafkah, duit dan duit, namun aspek-aspek rohani dan spiritual jauh lebih bermanfaat untuk melahirkan generasi yang saleh. Ada segudang bimbingan Rasulullah saw. untuk melahirkan anak yang memenuhi harapan orang tua, dari pra nikah sampai pasca kelahirannya. Apakah sudah direalisasikan oleh orang tua?

Keywordnya, jika hak-hak anak telah dipenuhi oleh orang tua, insya Allah hak-hak orang tua juga akan dipenuhi oleh anak-anaknya. Anak-anak akan lebih muda menerima bimbingan Rasulullah saw. bahwa di antara dosa yang terbesar adalah kedurhakaan anak terhadap orang tuanya. Keridhaan Allah sangat bergantung pada keridhaan orang tua. Termasuk dosa besar adalah pencaci makian anak terhadap orang tuanya sendiri. Dan berbagai bimbingan lainnya. Namun jika hak mereka terabaikan, lalu anak durhaka kepada orang tuanya yang telah renta, siapa yang lebih patut harus introspeksi?

SILAHKAN IKUTI KAMI & SHARE KE SESAMA - SEMOGA BERMANFAAT :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: MAAF !!