TURATS NABAWI

MAKANAN KEBERKATAN

MAKANAN KEBERKATAN

PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)

TEKS HADITS: Tha’am al-wahid yakfi al-itsnaini, wa tha’am al-itsnaini yakfi al-arba’ah, wa tha’am al-arba’ah yakfi al-tsamaniyah.

TERJEMAHAN: Jatah makanan dua orang cukup untuk dikonsumsi satu orang. Jatah makan dua orang cukup dikonsumsi empat orang. Dan jatah makan empat orang cukup dikonsumsi delapan orang.

STATUS HADITS: SHAHIH.

PENJELASAN HADITS: Keberkatan sering diterjemahkan dengan “tambahan kebajikan”. Definisi seperti ini tentu perlu dikaji ulang.  Karena pada hakikatnya setiap amalan kebajikan tentu akan dilipat gandakan oleh Allah ditambah dan dikembangkan.

Satu amal kebaikan otomatis akan diganjar sepuluh kali bahkan berlipat kali. Lantas tambahan kebajikan apa lagi yang kurang dari Allah? Keberkatan tentu lebih dari itu. Dalam contoh makanan keberkatan Rasulullah saw. telah memberikan konsep jatah makan satu orang kiranya cukup dapat dinikmati dua orang. Jatah makan dua orang cukup dapat dinikmati empat orang. Dan jatah makan empat orang cukup dapat dinikmati delapan orang. Dalam riwayat lain, jatah makan dua orang cukup dapat dinikmati empat orang dan jatah makan empat orang cukup untuk dapat dinikmati delapan orang.

Dalam bahasa jawa, keberkatan berarti bungkusan. Mari diberkat maksudnya mari dibungkus. Hal ini karena shahibu hajat telah menyiapkan jatah makan untuk undangan seratus orang misalnya. Namun setelah mereka menikmatinya, ternyata masih tersisa, sehingga sisa jatah itulah yang diberkat untuk diberikan kepada pihak lain. Tentu perilaku seperti inilah yang dapat memasukkan pelakunya ke dalam ridha Allah dan surga Allah.

Dengan demikian dapat disimpulkan konsep keberkatan adalah apa saja yang dapat mengantarkan kita kepada ridha Allah dan surga Allah. Itulah sebabnya, seorang muslim ketika menempati rumah baru, kursi jabatan baru, kendaraan baru, mengambil pembantu, membeli kuda, pulang haji, melahirkan anak dan sebagainya selalu endingnya mengharap keberkatan.

Maka tidak salah jika setiap muslim merindukan rumah ini menjadi media untuk dapat mengantarkan dirinya kepada surga Allah. Baiti jannati. Sekarang setiap kita dapat melakukan muhasabah, bagaimana sekiranya ada di antara kita yang rakus, sehingga jatah triliyunan (sekian banyak temannya) yang dia habiskan sendiri dan anehnya yang bersangkutan tidak merasa berdosa. Sungguh keadilan Ilahi pasti akan diperlakukan terhadap semua hambanya, boleh jadi semua amalan kebajikan yang dimilikinya tidak sebanding dengan prilaku kedzalimannya sehingga nilai kebajikannya defisit dibanding nilai keburukannya. Akhirnya yang bersangkutan berpredikat “bangkrut’ di sisi Allah ta’ala.

Takhrij HADITS: Hadits ini diriwayatkan oleh 4 sahabat. Yaitu Jabir ibn Abdullah, Samurah ibn Jundub, Abdullah ibn Mas’ud dan Abdullah ibn Umar. Adapun hadits yang diriwayatkan Jabir ibn Abdullah dikeluarkan Ahmad, Darimi, Muslim, Turmudzi, Nasai dalam al-Kubra, Ibn Hibban, Ibn Majah, dan Abu Awanah. Adapun hadits yang diriwayatkan Samurah ibn Jundub dikeluarkan Thabrani. Namun di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Bakar al-Hudzali yang dinilai lemah. Adapun hadits yang diriwayatkan Abdullah ibn Mas’ud dikeluarkan Thabrani. Namun di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Qais ibn Rabi’, ada yang menilainya tsiqah (terpercaya) dan ada juga yang menilainya lemah. Adapun hadits yang diriwayatkan Abdullah ibn Umar dikeluarkan Baihaqi dalam Syu’abil Iman dan Abad ibn Hamid. Periwayatan Jabir ibn Abdullah sudah jelas merupakan hadits shahih, dikeluarkan Muslim dan lainnya dan dinilai Turmudzi hadits hasan shahih, maka sekiranya periwayatan lainnya tidak lepas dari kritik sanad dan berakhir dengan kepastian hadits dhaif, maka tidak menjadi masalah.

Bagi peneliti hadits faham betul, walaupun hadits kedua, ketiga dan keempat awalnya dhaif, namun dengan adanya kesaksian periwayatan maka derajatnya dapat meningkat yang lebih tinggi, dari dhaif menjadi hadits hasan li ghairihi, dan dari hadits hasan menjadi hadits shahih li ghairihi.

Bersyukur peneliti menemukan hadits yang pertama, sekiranya peneliti tidak menemukan hadits yang pertama, maka bukan mustahil ia memvonis bahwa hadits itu dhaif (lemah).

Dengan demikian makin banyak database yang ditemukan seorang pemerhati hadits maka ia dapat menyimpulkannya lebih akurat. Kelemahan seperti ini sering dialami oleh para pemerhati hadits yang kurang memiliki referensi hadits dengan berbagai tipologinya.

Referensi: Lebih lanjut silakan merujuk referensi berikut ini: Maqasid: 272. Tamyiz: 98. Kasyf: 2/39. Ahmad: 14260. Darimi: 2044. Muslim: 2059. Turmudzi: 1820. Nasai dalam al-Kubra: 6774. Ibn Hibban: 5237. Ibn Majah: 3254. Abu Awanah: 8403. Thabrani: 6958. Baihaqi dalam Syu’abil Iman: 5635 dan Abad ibn Hamid: 788.

SILAHKAN IKUTI KAMI & SHARE KE SESAMA - SEMOGA BERMANFAAT :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: MAAF !!