
MEMIKIRKAN CIPTAAN ALLAH BUKAN DZAT ALLAH
MEMIKIRKAN CIPTAAN ALLAH BUKAN DZAT ALLAH
PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)
TEKS HADIS: Tafakkaru fi alaillah wa la tafakkaru fi Dzatillah azza wa jalla.
TERJEMAHAN: Berfikir-fikirlah perihal tanda-tanda kebesaran Allah (ciptaan Allah), dan jangan berfikir-fikir terhadap Dzat Allah.
STATUS HADIS: Hadis hasan, ada yang menilai dhaif.
TAKHRIJ HADIS: Hadits di atas diriwayatkan (1) Abdullah ibn Umar (2) Abu Hurairah (3) Abdus Salam (4) Abu Dzar (5) Ibn Abbas. Hadits yang diriwayatkan Abdullah ibn Umar dikeluarkan Thabrani dalam al-Ausath, Baihaqi dalam Syu’abil iman, dari Ali ibn Tsabit dari Wazi’ dari Nafi’ dari Salim ibn Abdullah dari bapaknya (Abdullah ibn Umar) dari Nabi saw. Hadits ini lemah. Biang kelemahan hadits ini pada perawi yang bernama Wazi’. Dia dinilai Bukhari “munkar al-hadits”. Dinilai Nasai “matruk”. Dinilai Hakim “meriwayatkan hadits-hadits maudhu’”. Hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dikeluarkan Ibn Asakir dalam al-Amali, dari Muhammad ibn Salamah al-Bakhli, dari Bisyr ibn Walid dari Abdul Aziz ibn Salamah dari al-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah. Hadits ini juga lemah. Biang kelemahan hadits ini pada Muhammad ibn Salamah al-Bakhli yang tidak dikenal nilai kredibelitasnya dan Bisyr ibn Walid yang dinilai lemah. Hadits yang diriwayatkan Abdus Salam dikeluarkan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, dari Abdul Jalil ibn Athiyah dari Syahar ibn Hausab dari Abdullah ibn Salam secara al-marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi). Hadits ini lemah. Biang kelemahan hadits ini pada Abdul Jalil ibn Athiyah dan Syahar ibn Hausab, keduanya perawi lemah, hafalannya berubah, dinilai shaduq. Dalam masalah ini haditsnya juga diriwayatkan Abu Dzar yang dikeluarkan Abu Syaikh dan juga diriwayatkan Ibn Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah dan Baihaqi dalam Asma’ wa shifat. Pernbedaan penentuan status hadits di atas mengacu kepada perbedaan metodologi yang digunakan. Sebagain menyimpulkan berbagai hadits dhaif walaupun dipadukan tetap hasilnya dhaif, sedangkan yang kedua beberapa hadits dhaif nilainya dapat meningkat menjadi hasan karena dudungan dari hadits-hadits tersebut. Itulah sebabnya syaikh Nasiruddin al-Albani menyimpulkan dengan adanya berbagai sanad itu menurutnya hukumnya menjadi hadits hasan.
PENJELASAN HADITS: Dalam hal pemahaman tentang Dzat Allah, Rasulullah lebih bersifat pasif, itulah sebabnya sangat jarang Rasulullah saw. menjelaskan hahekat Ilah, kecuali ditanya oleh para sahabatnya. Terkait dengan berbagai informasi hadits yang berhubungan dengan sifat dan dzat Allah, kata kuncinya ada lima. Pertama, percaya bahwa Allah menyipati dirinya dengan sifat apa pun yang wajib diyakini. Kedua, mengingkari sifat-sifatNya tergolong kufur, karena menafikan apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Ketiga, hakekat sifat yang melekat pada Allah adalah ma’lum, karenda sifat-sifat itu disampaikan sesuai dengan bahasa manusia yang paling fasih. Keempat, bagaimana wujud sifat-sifatNya adalah majhul (tidak dapat dinalar, karena Rasulullah saw. tidak menjelaskan lebih lanjut, padahal beliau yang dinilai lebih mengerti terhadap sifat tersebut). Dan kelima, mempertanyakannya dikategorikan muhdats, karena hal itu tidak pernah dipertanyakan oleh para sahabat Nabi. Dalam kasus memahami “tangan Allah” misalnya. Mereka meyakini bahwa Allah memang mempunyai tangan. Mengingkari bahwa Allah mempunyai tangan dikategorikan kufur, karena menafikan sifat itu yang sudah ditentukan sendiri oleh Allah swt. Pernyataan Allah memiliki tangan itu sudah di anggap maklum, karena redaksi tangan berkali-kali dipergunakan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Adapun bagaimana wujudnya tangan Allah, maka tidak dapat dijelalskan, karena Rasulullah saw. memang tidak pernah menjelaskannya kepada umat secara detail. Yang jelas tangan Allah tidak sama dengan tangan mahluk-Nya, sebagaimana firman-Nya “laisa kamitslihi syaiun” (tidak ada dzat yang menyamainya) dan firmanNya “wa lam yakun lahu kufuwan ahad” (tidak ada bagiNya penyerupaan dengan sesuatu apa pun). Dengan pemaparan seperti ini mempertajam kebenaran hadits di atas.
REFERENSI: Lebih lanjut silakan merujuk referensi berikut ini: Maqashid: 159. Durar: 166. Tamyiz: 58. Kasf: 1/311. Thabrani dalam al-Ausath: 6456, Baihaqi dalam Syu’abil iman: 1/75. Ibn Asakir dalam al-Amali: 1/50. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah dan Baihaqi dalam Asma’ wa shifat: 420.

