* ALHAMDULILLAH * ARTIKEL ILMIAH, KAJIAN TEMATIK & BUKU-BUKU TERBARU * TERBIT SETIAP HARI JUM'AT *

TURATS NABAWI

MENZIARAHI TEMAN BERSELANG HARI

MENZIARAHI TEMAN BERSELANG HARI

PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)

TEKS HADITS: Zur ghibban tazdad hubban.

TERJEMAHAN: Ziarahi temanmu berselang hari kelak akan menambah kecintaan.

STATUS HADITS: HASAN LI GHAIRIHI.

PENJELASAN HADITS: Silaturahim memang sangat diutamakan dalam pandangan syari’at Islam. Seseorang supaya gemar menziarahi temannya apalagi terhadap sesama saudara. Apabila dilakukan secara rutin akan dapat merapatkan system kekeluargaan. Orang jawa bilang “tidak kepaten obor”. Jalinan silaturahim itulah akan berdampak interaksi sosial yang pada akirnya melahirkan kepedulian sosial bahkan melahirkan sikap ta’awun antara yang satu dengan lainnya. Maka akan terjadi jaring sosial yang sangat kokoh dan terpadu. Namun walaupun demikian masih perlu diingat bahwa intensitas silaturahim pun harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak melahirkan sikap bosan. Ada komunitas umat tertentu yang secara idealis menginginkan silaturahim keluarga dilakukan setiap bulan. Dengan harapan terjadinya perkembangan di lingkungan itu cepat dapat direspon secara kebersamaan. Dan ada komunitas tertentu yang menginginkan kajian hadits seperti ini diharapkan dapat dinikmati setiap hari. Namun bukan mustahil, bukan sikap istiqamah yang akhirnya terjadi, malahan melahirkan sikap bosan dan tidak efektif. Seperti itulah dalam segala aspek kehidupan ini, termasuk dalam hal silaturahim. Maka Rasulullah saw. telah memberi solusi cerdas kepada kita semua, walaupun ziarah ke sasama teman itu memiliki nilai-nilai yang sangat positif, namun bilamana ada masa jeddah yang cukup diharapkan pertemuan berikutnya makin menambah kecintaan, bukan sebaliknya.

TAKHRIJ HADITS: Hadits ini diriwayatkan oleh 6 sahabat. Yaitu: Habib ibn Maslamah, Abu Hurairah, Abu Dzar, Abdullah ibn Amr, Aisyah, dan Ali. Adapun hadits yang diriwayatkan Habib ibn Maslamah dikeluarkan Hakim, Tamam, Thabrani dalam al-Ausath, dan Thabrani dalam al-Shaghir. Dalam sanad (mata rantai perawi hadits) ini ada yang bernama Muhammad ibn Makhlad al-Ru’aini yang dinilai lemah. Adapun hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dikeluarkan Ibn Abi Dunya dalam al-Ikhwan, Thayalisi, dan Uqaili. Dalam sanad (mata rantai perawi hadits) ini ada yang bernama Thalhah ibn Amr al-Hadhrami. Adapun hadits yang diriwayatkan Abu Dzar dikeluarkan Baihaqi dalam Syu’abil Iman, dan Bazzar. Dalam sanad (mata rantai perawi hadits) ini ada yang bernama Uwaid ibn Abi Imran yang dinilai sangat lemah bahkan matruk (haditsnya ditolak). Adapun hadits yang diriwayatkan Abdullah ibn Amr dikeluarkan Ibn Abi Dunya dalam al-Ikhwan, Thabrani, Khatib al-Bagdadi, Tamam. Hadits ini dinilai sanadnya jayyid oleh Ibn Hajar al-Haitsami: 8/175. Adapun hadits yang diriwayatkan Aisyah dikeluarkan Khatib al-Bagdadi. Adapun hadits yang diriwayatkan Ali dikeluarkan Ibn Abi Dunya dalam al-Ikhwan. Tanpaknya dari paparan di atas dapat dicermati bahwa pada setiap sanad (mata rantai perawi hadits) ada yang bermasalah. Sehingga kalau hadits ini dinukil secara parsial maka sudah bisa dipastikan sang peneliti hadits berkesimpulan dhaif (lemah). Namun kalau diteliti secara keseluruhan maka hasilnya terjadi perbedaan pendapat. Pendapat pertama hadits di atas tetap dinilai dhaif (lemah), karena hadits dhaif yang didukung dengan hadits dhaif yang lain menurut pendapat yang pertama ini selamanya tidak dapat meningkat yang lebih baik. Sedangkan pendapat kedua berkesimpulan derajatnya lebih tingga, yakni menjadi hadits hasan li ghairihi, maka hadits jenis ini sudah dapat dipergunakan sebagai landasan hukum. Para peneliti Indonesia sering menganut madzhab pertama, analoginya sekiranya yang satu berpenyakit flu burung, yang lain berpenyakit antrax, yang lain berpenyakit aids kalau dihimpun apa mungkin menjadi lebih baik? atau justru lebih fatal! Maka mereka berkesimpulan tidak mungkin menjadi lebih baik (tetap dhaif). Padahal menurut ulama hadits, kedhaifan perawi harus dipilah terlebih dahulu, apakah tergolong qadih atau ghair qadih. Karena ditemukan hanya karena sang perawi berperilaku kurang baik saja sudah ada kritikus memvonis haditsnya harus ditolak? Disinilah perlunya kritik cacat terhadap perawi harus dirinci terlebih dahulu, tidak digenaralisir. Dan semestinya peneliti tidak hanya melihat apa yang divoniskan kritikus, namun juga memperhatikan siapa yang melontarkan kritik tersebut. Mengingat di antara mereka ada yang masuk kategori al-mutasyaddid namun ada juga yang masuk kategori al-mutasahhil. Kajian seperti ini belum mendapatkan porsi yang serius dari teman-teman peneliti hadits di Indonesia.

Referensi: Lebih lanjut silakan merujuk referensi berikut ini: Maqasid: 232. Dhurar: 250. Tamyiz: 84. Kasyf: 1/439. Thabrani: 3535. Hakim: 5477. Tamam: 64. Thabrani dalam al-Ausath: 3052. Thabrani dalam al-Shaghir: 296. Ibn Abi Dunya dalam al-Ikhwan: 104. Bazzar. Thayalisi: 2535. Uqaili: 2/224. Baihaqi dalam Syu’abil Iman: 8362. Bazzar: 3963. Ibn Abi Dunya dalam al-Ikhwan: 104. Thabrani. Khatib al-Bagdadi: 9/300. Tamam: 228. Khatib al-Bagdadi: 10/182. Ibn Abi Dunya dalam al-Ikhwan: 104.

SILAHKAN SHARE SEMOGA BERMANFAAT :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: MAAF !!