
MESKI BERHALANGAN PUASA, MUSLIMAT BISA MERAIH PAHALA
MESKI BERHALANGAN PUASA, MUSLIMAT BISA MERAIH PAHALA
PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)
Kodrat wanita berbeda dengan kodrat lelaki, walaupun kadang dalam satu kondisi tertentu kodrat keduanya setara. Oleh sebab itu sangat tidak adil jika ada tuntutan kesetaraan gender secara mutlak. Orang pintar pasti dapat memilah, dalam kondisi apa perempuan menuntut kesetaraan gender, dan dalam kasus apa justru tuntutan kesetaraan gender berdampak kedzaliman baginya.
Di hari raya Fitri yang diharapkan Rasulullah saw. semua umat kembali kepada kesucian, para wanita sahabat dikejutkan dengan kedatangan Rasulullah saw. yang didampingi oleh Bilal bin Abu Rabah. Beliau bersabda di hadapan mereka: Aku tidak melihat umatku yang kurang akal dan agama dibanding kalian. Para wanita sahabat meminta klarifikasi apa yang beliau maksudkan “kurang akal dan agama”. Maka Rasulullah saw. balik bertanya: Bukankah kesaksian wanita separuh dari kesaksian lelaki? Mereka menjawab: Benar wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah saw. Bersabda: Itulah wujud kurang akalnya. Kemudian Rasulullah saw. bertanya lagi: Bukankah jika wanita sedang haid, dia tidak shalat dan tidak berpuasa? Mereka menjawab: Benar wahai Rasulullah. Maka Rasulullah saw. bersabda: Itulah wujud kurang agamanya.
Dari paparan hadits di depan cukup sebagai penjelasan bagi mereka yang gagal faham sehingga kurang akal wanita difahami sebagai aspek intelektualitasnya. Lalu mereka mempertanyakan validitas hadits ini, dan berakhir mengingkari kehujahannya.
Saat datang bulan Ramadhan, bukan mustahil para wanita tidak dapat melaksanakan puasa Ramadhan lantaran udzur haid, nifas dan sejenisnya. Atau dalam istilah hadits, kurang agamanya. Pertanyaanya, bagaimana muslimat tetap dapat meraih pahala besar walapun dalam kondisi berhalangan? Berikut ini dipaparkan berbagai kiat untuk tetap dapat menggapai pahala besar, walaupun muslimat berhalangan berpuasa.
Pertama, memperbanyak sedekah. Inilah solusi cerdas dari Rasulullah saw. saat beliau menghadapi para wanita sahabat. Sehingga para wanita menyedekahkan apa saja yang diinginkan dan diletakkan pada kain Bilal bin Abu Rabah. Fenomena seperti ini sering kita jumpai di kalangan komunitas muslimat, sebagai apresiasi untuk tidak tertinggal lelaki dalam menggapai pahala.
Kedua, ith’am shaim (memberi santapan buka bagi orang yang berpuasa). Dalam hadits shahih dijelaskan “Barangsiapa yang memberi santapan buka bagi orang yang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pelakunya tanpa mengkorting hak pelaku sedikitpun”. Maka dapat dikalkulasi jika memberi santapan buka seorang berpuasa pahalanya satu milyar misalnya, jika muslimat memberikan seratus buka puasa, pahalnya mencapai ratusan milyar.
Ketiga, tadarus Al-Qur’an. Jika yang diperdebatkan dalam masalah menyentuh mushaf, bukankah muslimat dapat membaca dari hafalannya. Lalu men-tadaburi-nya sehingga mendapatkan nilai hidayahnya. Syukur jika memiliki majelis halaqat tadabur Al-Qur’an di tempat yang layak bagi mereka, insya Allah sangat besar pahalanya, apalagi dilakukan di bulan Ramadhan. Muslimat membuat program di setiap rumah tangga. Berkumpul suami istri dan anak-anak dalam sebuah majelis dzikir, diisi dengan mendiskusikan satu atau dua ayat yang dibacakan. Bukankah seperti ini media untuk dapat menggapai pahala Ramadhan?
Keempat , i’tikaf di sahwah. Sahwah merupakan bilik kecil di rumah yang dipersiapkan untuk shalat keluarga. Betapapun ditemukan hadits “la i’tikafa illa fi masjid jami’ (Tidak ada i’tikaf kecuali dilakukan di masjid jami’), ulama berbeda dalam memberi interpretasi hadits tersebut, apakah yang dimaksudkan “tidak sah” i’tikaf kecuali dilakukan di masjid jami’, atau “tidak sempurna” i’tikaf kecuali dilakukan masjid jami’? Bagi mereka yang menafsirkan pertama, maka masih memunculkan perselisihan dalam memahami “masjid jami’ itu sendiri. Bagi mereka yang memahami kedua, maka dimanapun muslimat dapat melakukan i’tikaf. Oleh karena dia dalam kondisi udzur, maka untuk selamat dari perbedaan pendapat, muslimat tidfak i’tikaf di masjid, melainkan di sahwah-nya masing-masing.
Kelima, majelis ta’lim. Kultur umat Islam jika memasuki bulan Ramadhan berbagai majelis ta’lim diadakan dimana-mana. Tentunya karena memiliki udzur syar’i, muslimat mencari tempat yang tidak diperselisihkan kebolehannya. Dalam majelis ta’lim muslimat dapat mendiskusikan apa saja dalam urusan agama, khususnya yang terkait dengan kondisi haid dan sejenisnya. Dan dalam majelis taklim maupun lainnya sangat elok jika dibarengi dengan bacaan kalimah thayibah, wirid-wirid yang ma’tsur, yang layak dibaca sepanjang waktu dan lokasi, walaupun dalam kondisi haid.
Keenam, berbagai amal saleh lainnya yang layak dilakukan muslimat yang sedang haid dan sejenisnya. Seperti menyantuni anak yatim, mengeluarkan dan memberdayakan zakat fitrah, aktif dalam kegiatan sosial keagamaan, wisata religi, silaturahim, sampai tersenyum dan menunjukkan wajah ceria saat bertemu teman juga bagian dari sedekah.
Ketujuh, tentunya aktivitas keseharian akan dapat ditingkatkan menjadi nilai taabudi jika dibarengi dengan dengan niat ibadah, seperti makan, minum, tidur atau istirahat, berkarya, bahkan bermenung positif untuk mendapatkan imaginasi program dan aktivitas positif demi kemaslahatan umat, keluarga dan diri sendiri.
Dengan demikian sangat banyak media taqarub dan memperbanyak ibadah, walaupun muslimat berhalangan untuk dapat menjalankan puasa Ramadhan. Dalam grup kecil para muslimat yang berhalangan dapat mendiskusikan tindak lanjut berbagai aktivitas yang telah dipaparkan di depan. Makin banyak taqarub seorang hamba kepada Tuhannya, makin besar pula perlindungan dan pertolongan dari Allah swt. Semoga bermanfaat.

