* ALHAMDULILLAH * ARTIKEL ILMIAH, KAJIAN TEMATIK & BUKU-BUKU TERBARU * TERBIT SETIAP HARI JUM'AT *

TURATS NABAWI

MUHAMMAD HASYIM ASY’ARIE DAN DAKWAH KULTURAL

MUHAMMAD HASYIM ASY’ARIE DAN DAKWAH KULTURAL

PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)

PROFIL:

Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’arie, bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari Lahir di desa Gedang, kecamatan Diwek, kabupaten Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875/4 Jumadil Awwal 1292 H Wafat di  Jawa Timur, 25 Juli 1947/6 Ramadhan 1366 H Usia 72 tahun dan dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang.

PENDIDIKAN:

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH. Hasyim Asy’arie memang sudah tampak. Di antara teman sepermainannya, beliau kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, beliau sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun KH. Hasyim Asy’ari meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.

Mula-mula beliau menjadi santri di pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, beliau melanjutkan di pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.

Tak lama di sini, KH. Hasyim Asy’ari pindah lagi di pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, KH. Hasyim Asy’ari merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai orang alim yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama (lima tahun) KH. Hasyim Asy’ari menyerap ilmu di pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, KH. Hasyim Asy’ari bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri.

Hasyim Asy’ari, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah (putri Kyai Ya’qub pesantren Siwalan),. Tidak lama setelah menikah, KH. Hasyim Asy’ari bersama istrinya berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, KH. Hasyim Asy’ari kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah beliau menetap di Makkah selama 7 tahun dan berguru pada (a) Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, (b) Syaikh Mahfudh al-Tarmisi, (c) Syaikh Ahmad Amin al-Atthar, (d) Syaikh Ibrahim Arab, (e) Syaikh Said Yamani, (f) Syaikh Rahmaullah, (g) Syaikh Shalih Bafadlal, (h) Sayyid Abbas Maliki, (i) Sayyid Alwi ibn Ahmad al-Saqqaf, (j) dan Sayyid Husein al-Habsyi.

Tahun l899 pulang ke tanah air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, (Kyai Usman). Tak lama kemudian beliau mendirikan pesantren Tebuireng (tahun: …..). KH. Hasyim Asy’ari bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim Asy’ari istirahat tidak mengajar. Saat itulah beliau memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim Asy’ari menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Pada tahun 1899, sepulangnya dari Makkah, KH. Hasyim Asyari mendirikan pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Pada tahun 1926. KH. Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.

PEMIKIRANNYA:

Hadratus syaikh adalah sosok yang lurus dan cerdas. Beliau memiliki pola pikir yang inovatif, berbeda dengan pola konservatif yang sudah mengakar dalam pengajaran agama Islam. Meski demikian, perbedaan itu tidak menimbulkan pertentangan dan kesalahpahaman yang berujung pada konflik, KH. Hasyim Asyari justru mampu meredam itu (pertentangan atau kesalahpahaman) dengan penjelasan yang masuk akal dan cara yang lembut meski beliau terkadang digambarkan sebagai seorang yang tidak kuasa menerima cobaan.

Setelah memiliki bekal cukup, KH. Hasyim Asyari mendirikan pesantren. Uniknya, pesantren itu berdiri di kawasan bernama Tebuireng, wilayah yang dihuni pelacur, penjudi, dan pemabuk, yang memang sengaja dibiarkan berkembang oleh Belanda pada saat itu. “Abah, bukankah Islam itu rahmatan lil alamin”, agama yang mengajarkan kebaikan sesuai dengan perikemanusiaan. Dan pesantren adalah salah satu alat untuk menyampaikan ajaran kebaikan itu. Kalau kita percaya ajaran yang dibawa Islam adalah baik dan bisa menerangi sesuatu yang gelap, kenapa harus khawatir dengan pesantren yang akan tercemar nama baiknya”. jelas KH. Hasyim Asy’ari kepada sang ayah, (Kiai Asyari).

Selama belajar di Makkah, memang KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pemikiran-pemikiran “pembaharuan Islam”. Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam memang diterima oleh Hadhratu Syaikh, tetapi beliau menolak pikiran Muhammad Abduh agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Beliau berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan HADITSt tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al-Qur’an dan HADITSt tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.

Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, beliau berpesan agar ummat Islam berhati-hati apabila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional).

Kelompok inilah yang mampu menyelaraskan Dakwahnya dengan “kearifan lokal”, sehingga terjadi akulturasi budaya, tanpa harus meninggalkan kesunniannya. Dakwah yang penuh dengan kesantunan, yang akhirnya terbukti, walaupun lahir sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang nota benenya boleh dibilang terlahir kemudian, namun populasinya tidak tertandingi dengan organisasi kakak-kakaknya sampai sekarang.

DAKWAH KULTURAL

Berbeda dengan pola Dakwah kelompok fundamentalis, yang biasanya mengedepankan “slogan purifikasi”, sehingga tampak sangat normatif. Ketimbang Dakwah kultural yang mengedepankan “toleransi terhadap budaya lokal” dan mengadakan adaptasi, sehingga melahirkan “akulturasi budaya”.

Tradisi sungkem di hari raya, memang dirasa sangat sulit apabila dilakukan door to door, karena kesibukan masing-masing individu, bahkan problem-problem lainnya. Sehingga diwujudkan “tradisi halal bi halal”.

Tradisi ini hanya ada di Indonesia, atau orang-orang Indonesia yang berdomisili di manca Negara. (Walaupun sudah ada warga Negara lain yang juga mengikutinya). Maka sangat ironi apabila dipertanyakan: Mana dalilnya? Apakah dicontohkan oleh Salafu Shalih? Bahkan berakhir pada nasehat: Amalan apa pun kalau tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw. Akan ditolak!

Semestinya, pintu gerbang pemikirannya adalah sebuah kultur, bukan urusan ta’abbudi mahdhah yang pelaksanaannya harus ada perintah dan harus pleg kayak perilaku Nabi. Maka budaya yang sudah mengakar itu dipayungi dengan “maqashid al-syar’i”, untuk mengukur kashalihan dan tidaknya suatu amalan.

Pola dakwah kesantunan seperti ini yang dahulu dicontohkan oleh Rasulullah saw. Baik periode sebelum hijrah maupun setelah hijrah. Dengan demikian ada payung hukum model Dakwah kultural yang sedemikian itu.

HADITS DAKWAH KULTURAL

Penulis mengamati adanya beberapa contoh, bagaimana Rasulullah saw. Menghargai “kultur pra keislaman”, yang akhirnya bilamana kultur tersebut tidak berseberangan dengan usul al-tasyri’, dilegitimasi oleh Rasulullah saw. Yang akhirnya menjadi “syari’at Islam”.

Tradisi Tadmiya’

Pada masa jahiliyah, sudah ada tradisi “menyukuri kelahiran anak”. Upacara perayaan tersebut ditandai dengan penyembelihan qurban. Darah sembelihannya diletakkan pada tempayan. Kemudian anak yang dirayakan tersebut rambutnya digundul, kemudian diolesi dengan “darah qurban” maka kultur ini disebut “tadmiya” artinya “pengolesan dengan darah”. Rasulullah tidak menghilangkan kultur itu, dan akhirnya menjadi syari’at Nabi Muhammad Saw. Yang dikenal dengan “aqiqah”. Oleh karena “darah” dalam pandangan Islam adalah “najis”, maka oleh Rasulullah Saw. Diganti dengan “za’faran”.

Tradisi Stempel Surat

Pada masa Rasulullah Saw. Komunikasi surat menyurat internal sesama Muslim berupa tulisan-tulisan belaka, tanpa dibubuhi dengan “khatm atau stempel”. Namun ketika Rasulullah Saw. melakukan dakwah secara tulis kepada para penguasa Romawi, negeri Iliya, raja Najasyi dan lainnya. Maka setiap surat yang dikirimkan kepada mereka dibubuhi “stempel” yang sesuai dengan kultur mereka. Sebagai bukti kongkret, adanya surat peninggalan Nabi kepada penguasa Hiraclius yang dibubuhi dengan stempel Nabi.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضى الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى رَهْطٍ أَوْ أُنَاسٍ مِنَ الأَعَاجِمِ، فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُمْ لاَ يَقْبَلُونَ كِتَابًا إِلاَّ عَلَيْهِ خَاتَمٌ، فَاتَّخَذَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَكَأَنِّى بِوَبِيصِ أَوْ بِبَصِيصِ الْخَاتَمِ فِى إِصْبَعِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَوْ فِى كَفِّهِ

Dinarasikan Anas ibn Malik ra.: Rasulullah saw. menulis surat kepada pemuka kaum atau sekelompok orang asing, lalu diberitahukan kepada Nabi: Sesungguhnya mereka tidak akan menerima surat tuan kecuali jika surat itu dibubuhi stempel. Maka Nabi saw. membuat stempel (cincin) dari perak yang diukir dengan tulisan ‘Muhammad Rasul Allah’, seolah-olah saya melihat kilauan pada cincin berada di jari Nabi saw. atau di telapak tangannya. [Hr. Bukhari: 5872].

Tradisi Makan Biawak

Ketika Rasulullah saw. mengunjungi komunitas yang kegemarannya memakan daging “biawak”, kepada Rasulullah saw. disuguhi makanan tradisi mereka. Betapa pun Nabi saw. tidak ikut memakannya, Namun Nabi saw. tetap mengizinkan mereka untuk menikmati makanan tradisi mereka. Nabi hanya beralasan, belum terbiasa memakannya.

أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَرْبٍ عَنِ الزُّبَيْدِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى الزُّهْرِىُّ عَنْ أَبِى أُمَامَةَ بْنِ سَهْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُتِىَ بِضَبٍّ مَشْوِىٍّ فَقُرِّبَ إِلَيْهِ فَأَهْوَى إِلَيْهِ بِيَدِهِ لِيَأْكُلَ مِنْهُ قَالَ لَهُ مَنْ حَضَرَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ. فَرَفَعَ يَدَهُ عَنْهُ فَقَالَ لَهُ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَرَامٌ الضَّبُّ قَالَ لاَ وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِى فَأَجِدُنِى أَعَافُهُ. فَأَهْوَى خَالِدٌ إِلَى الضَّبِّ فَأَكَلَ مِنْهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ.

Dinarasikan Khalid ibn Walid ra.: Rasulullah saw. diberi biawak bakar kemudian didekatkan kepadanya. Lalu Nabi mengulurkan tangannya untuk makan sebagian darinya. Orang yang hadir berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu adalah daging biawak. Kemudian Nabi mengangkat tangannya. Lalu Khalid ibn Walid berkata: Wahai Rasulullah, apakah biawak itu haram? Nabi bersabda: Tidak, akan tetapi itu tidak ada di negeri kaumku sehingga saya tidak menyukainya. Kemudian Khalid mengulurkan tangannya ke biawak tersebut dan memakan sebagian darinya, sedang Rasulullah saw. melihatnya. Hr. Nasai: 4333.

Tradisi Atirah

Masyarakat jahiliyah memiliki tradisi “atirah”, yakni (hewan persembahan pada tanggal sepuluh bulan Rajab), memang bulan itu memiliki kekhususan di mata mereka. Ketika dikonfirmasikan kepada Nabi saw. maka Nabi mempersilahkan untuk melakukannya.

أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ  يَعْنِى ابْنَ الْمُبَارَكِ  عَنْ يَحْيَى  وَهُوَ ابْنُ زُرَارَةَ بْنِ كُرَيْمِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو الْبَاهِلِىُّ  قَالَ سَمِعْتُ أَبِى يَذْكُرُ أَنَّهُ سَمِعَ جَدَّهُ الْحَارِثَ بْنَ عَمْرٍو يُحَدِّثُ أَنَّهُ لَقِىَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ الْعَضْبَاءِ فَأَتَيْتُهُ مِنْ أَحَدِ شِقَّيْهِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى اسْتَغْفِرْ لِى. فَقَالَ غَفَرَ اللَّهُ لَكُمْ. ثُمَّ أَتَيْتُهُ مِنَ الشِّقِّ الآخَرِ أَرْجُو أَنْ يَخُصَّنِى دُونَهُمْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَغْفِرْ لِى . فَقَالَ بِيَدِهِ غَفَرَ اللَّهُ لَكُمْ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ النَّاسِ يَا رَسُولَ اللَّهِ الْعَتَائِرُ وَالْفَرَائِعُ. قَالَ مَنْ شَاءَ عَتَرَ وَمَنْ شَاءَ لَمْ يَعْتِرْ وَمَنْ شَاءَ فَرَّعَ وَمَنْ شَاءَ لَمْ يُفَرِّعْ فِى الْغَنَمِ أُضْحِيَتُهَا. وَقَبَضَ أَصَابِعَهُ إِلاَّ وَاحِدَةً

Dinarasikan Yahya ibn Zurarah ibn Kuraim ibn Harits ibn Amr al-Bahili dari bapakku dari kakek (Harits ibn Amr) bahwa dia berjumpa dengan Rasulullah saw. pada saat haji wada’ dan Nabi berada di atas untanya yang berwarna abu-abu. Kemudian saya mendatangi Nabi dari salah satu sisi dan berkata: Wahai Rasulullah, anda ditebus dengan bapak dan ibuku, mintakan ampunan untukku. Kemudian Nabi bersabda: Semoga Allah mengampuni kalian. Kemudian saya mendatanginya dari sisi yang lain, berharap Nabi mengkhuskan saya tanpa mereka. Saya berkata: Wahai Rasulullah, mintakan ampunan untukku. Kemudian Nabi bersabda menggunakan tangannya: Semoga Allah mengampuni kalian. Kemudian seorang berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan atirah (hewan persembahan pada tanggal sepuluh bulan Rajab) dan fara’ (anak hewan pertama yang dipersembahkan untuk berhala)? Nabi bersabda: Barangsiapa yang menginginkan maka dia menyembelih atirah dan barangsiapa yang menginginkan maka dia tidak menyembelih atirah. Dan barangsiapa yang menginginkan maka dia menyembelih fara’ dan barangsiapa yang tidak menginginkan maka dia tidak menyembelih fara’. Dalam kambing terdapat qurbannya. Dan Nabi mengenggam jari-jarinya kecuali satu. [Hr. Nasai: 4243].

SILAHKAN SHARE SEMOGA BERMANFAAT :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: MAAF !!