
PEMBANTU BUKAN MANUSIA KELAS BAWAH
PEMBANTU BUKAN MANUSIA KELAS BAWAH
PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)
Islam tidak mengenal kasta, semua makhluk di hadapan Allah –subhanahu wa taala– derajatnya sama. Yang membedakan adalah aspek ketakwaan. Sebagaimana dimaklumi, ketakwaan merupakan refleksi dari keimanan seseorang terhadap ajaran Islam. Kita tidak akan dapat mengukur keimanan seseorang. Menurut hadits Rasulullah saw. boleh jadi di waktu malam iman seseorang kuat, ibadahnya masya Allah, namun di waktu siang imannya sangat lemah, ia terpuruk dalam kemaksiatan, atau sebaliknya, naudzubillah.
Itulah iman yang kadang bertambah dan kadang berkurang, nah untuk memupuk keimanan dibutuhkan ketaatan dalam menjalankan syariat Islam. Salah satunya adalah terkait dengan interaksi sosial, yakni bagaimana bermu’amalah dengan para pembantu.
Perilaku Rasulullah saw. terhadap Anas bin Malik –radhiyallah anhu- sebagai pembantunya perlu diteladani oleh para majikan. Ketika Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- berhijrah dari kota Makkah menuju Madinah Munawarah, masyarakat baik yang tua maupun yang muda sangat mengharapkan bisa hidup berdampingan dengan beliau. Sedemikian pula Anas bin Malik yang waktu itu usianya masih relatif kecil juga merindukan hidup bersama beliau.
Anas bin Malik lahir pada tahun 612 M, sementara kehadiran Nabi di kota Madinah pada tahun 624 M, dengan demikian usia Anas bin Malik pada waktu itu sekitar 12 tahun.
Kehadiran Rasulullah di kota Madinah memang telah lama diharapkan oleh komunitas, lantaran keyakinan mereka hanya Nabi yang dapat mendamaikan mereka yang sering terjadi pertikaian antar suku, khususnya antara suku Aus dan Khadraj. Itulah sebabnya, ketika Nabi hadir di kalangan mereka, para penduduk setempat berlomba-lomba untuk memberikan cindramata kepada beliau.
Humaisha’ binti Milhan, ibu Anas bin Malik pun tidak ketinggalan. Belum genap sehari kehadiran Rasulullah di kota Madinah, ia membawa putranya (Anas bin Malik) untuk menghadap kepada Nabi, Anas pun berjalan di depannya dengan meloncat-loncat kegirangan dan kuncirnya bergoyang kekanan dan kekiri. Lalu di hadapan Nabi –shallallahu alaihi wa sallam-, ibunya berkata: Wahai Rasulullah, semua golongan Anshar telah memberimu hadiah, namun aku tidak mempunyai sesuatu yang aku hadiahkan kepada tuan kecuali putraku ini, maka ambillah dia sebagai pembantumu. Nabi pun senang dan menerima Anas dengan wajah yang berseri-seri.
Itulah sebabnya, dengan bangga Anas bin Malik mengatakan, Aku telah menjadi pengabdi Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- sejak hari pertama hijrahnya sampai beliau wafat.
Sebagaimana dimaklumi durasi Nabi Dakwah di kota Madinah adalah sepuluh tahun. Dengan demikian Anas dengan setia telah mengabdikan dirinya kepada Nabi selama itu.
Sewaktu Anas bin Malik menjadi pembantu Nabi, ia sangat merasakan perilaku Nabi yang sangat mulia. Ia merasakan indahnya perangai Nabi dan agungnya sifatnya. Ia sendiri yang bercerita, Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- adalah orang yang mulia akhlaknya, yang lapang dadanya dan sangat dermawan. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu hajat, kemudian aku keluar, namun aku menuju teman-teman sebaya yang sedang asik bermain-main di pasar sehingga aku pun nimbrung dalam permainan mereka, yang membuat aku lupa tugas yang diperintahkan oleh Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-. Saat aku bermain-main, ada seseorang yang memegang bajuku. Ternyata dia adalah Rasulullah –shalllahu laihi wa sallam-, beliau pun tersenyum manis seraya bersabda: Wahai Unais, apakah anda sudah melaksanakan yang aku perintahkan? Aku pun berlari sambil mengatakan: Ya, aku lakukan sekarang wahai Rasulullah. Katanya pula, demi Allah, aku telah mengabdikan diriku kepada Nabi selama sepuluh tahun, namun beliau tidak pernah menegurku, kenapa anda lakukan seperti itu! atau mengapa anda tidak melakukannya! Sungguh dalam kisah ini banyak hikmah yang dapat dipetiknya.
Pertama, majikan seharusnya menyadari kodrat pembantunya. Tidak layak dia membebani yang di luar kemampuannya. Dalam hadit shahih, Nabi saw. pernah melihat unta yang dibebani secara berlebihan, maka Nabi mengingatkan, khaffif (peringan bebannya). Ketika bebannya dikurangi, Nabi pun mengulangi ucapannya, kurangi lagi. Sedemikian indah bimbingan Rasulullah –shallalahu alaihi wa sallam-, walaupun dalam bermu’amalah dengan binatang, maka bagaimana terhadap sesama manusia? Nabi memahami Anas masih berusia anak-anak dan tabiat anak tentunya suka bermain-main sehingga lupa terhadap apa yang ditugaskan oleh beliau. Namun walaupun demikian, Nabi tidak marah, beliau hanya mengingatkan kembali agar Anas bin Malik menyadari kesalahannya.
Kedua, majikan harus menghindari ucapan yang tidak memberikan spirit bagi pembantunya. Kalimat kasar tentu tidak layak disampaikan, sebaliknya menggunakan kalimat bertanya agar pembantu menyadari akan kekeliruannya. Inilah yang akhirnya dikenal dengan model pemberdayaan.
Keempat, majikan harus memanggil pembantunya dengan redaksi kasih sayang. Anas bin Malik, oleh Nabi dipanggil Unais (kalimat tasghir, yang menunjukkan kasih sayang, bahkan dalam riwayat lain, Nabi memanggilnya, wahai anakku … (yakni panggilan yang menunjukkan keakraban), walaupun Anas bin Malik bukan anak kandung Rasulullah saw. Di antara bentuk nasihat Nabi kepada Anas, Wahai anakku, jika anda mampu dalam kesaharian untuk tidak dengki terhadap sesuatu, maka lakukanlah. Wahai anakku, perhatikan sunahku, barangsiapa yang mengamalkannya berarti dia telah mencintai aku, dan barangsiapa yang mencintai aku maka dia akan bersamaku di surga. Wahai anakku, jika anda sampai ke rumah, maka ucapkan salam kepada penghuninya, maka hal itu akan berdampak keberkahan untukmu dan keluargamu.
Kelima, majikan memberi makan dan pakaian kepada pembantunya sebagaimana dirinya. Rezki ini milik bersama, tidak ada yang membedakan. Kasus seperti ini nyaris tidak kita temukan di masyakarat. Itulah sebabnya, antara Umar bin Khattab (sang majikan) dan Amar bin Yasir (sang pembantu) berpakaiannya sama sehingga masyarakat sulit membedakan siapa majikan dan sipa pula pembantunya.
Keenam, majikan ikut membantu pekerjaan bawahannya. Pembantu bukan hanya pandai memerintah, melainkan juga terlibat di dalamnya. Begitulah nasihat Rasulullah –shallalahu alaihi wa sallam-. Semua orang tahu bagaimana Rasulullah terlibat langsung dalam penggalian parit dalam perang Khandak. Sambil memberi motifasi dengan syairnya, kehidupan yang sejati adalah kehidupan akhirat …
Jika sifat-sifat tersebut telah melekat dalam peri kehidupan para majikan, maka para pembantu betul-betul merasa dimuliakan, dia akan balik memberikan sumbangsihnya serta melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya terhadap majikannya. Dia memahami sabda Nabi saw. bahwa semua manusia adalah pemimpin …, dan pembantu adalah pemimpin, yang pandai menjaga harta majikannya. Itulah sebabnya, Nabi saw. memberi bimbingan kepada para majikan, bahwa sesungguhnya kalian menjadi konglomerat karena ditolong oleh orang-orang lemah (para pembantu). Majikan tidak akan menilai pembantunya sebagai masyarat kelas bawah, akan tetapi menyadari mereka adalah mitra kerja yang setia.

