
PENA TUHAN TERANGKAT
PENA TUHAN TERANGKAT
PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)
TEKS HADITS: Rufi’al qalam ‘an tsalatsin, ‘an al-naim hatta yastaiqidha, wa ‘an al-majnun hatta yafiqa, wa ‘an al-shabiyyi hatta yahtalima.
TERJEMAHAN: Pena Tuhan diangkat dari tiga perkara. Dari orang yang tidur sampai terbangunnya, dari orang gila sampai masa sembuhnya dan dari anak sampai masa balighnya.
STATUS HADITS: SHAHIH.
PENJELASAN HADITS: Dalam pandangan Islam akal manusia sangat mendapatkan prioritas. Karena manusia yang akalnya bermasalah tidak layak menjadi mukallaf (terbebani syari’at) disamping baligh adalah aqil (berakal). Oleh sebab itu inti dari hadits di atas, pena Tuhan diangkat karena yang bersangkutan akalnya tidak fungsional atau kalau tidak dikatakan kurang sempurna. Orang majnun (gila) akalnya bermasalah, orang tidur juga akalnya bermasalah, demikian pula anak yang belum baligh akalnya tentu belum sempurna, sehingga ketiga tipe manusia di atas tidak layak dibebani syari’at. Yakni orang gila sampai ia sadar dari gilanya. Orang tidur sampai terjaganya. Dan anak yang sampai beranjak masa balighnya. Ada kasus, seorang yang tertidur dari shalat maka ia bebas dari kewajiban shalat. Maka petunjuk Nabi agar yang terbangun supaya segera melakukan shalat, atau yang baru teringat supaya melaksanakan shalat, tentunya shalat yang dapat dilakukan secara qadha’. Yakni shalat terakhir saat ia sadar dari tidurnya atau dari kelupaannya. Maka sekiranya ada seseorang yang tidur mulai dari jam sepuluh pagi dan baru bangun jam tujuh pagi berikutnya, yang dilakukan secara qadha’ hanyalah shalat Subuh. Untuk taklif shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’nya tidak terbebani (diangkat pena Tuhan). Demikian pula kalau ada seseorang gila selama satu bulan misalnya, shalat apa yang terakhir ketika ia sadar dari gilanya itulah yang dilakukan secara qadha’. Dengan demikian supaya dibedakan secara cerdas, antara melaksanakan shalat secara qadha’ dan mengqadha’ shalat. Dalam tuntunan Islam tidak tidak ditemukan konsep mengqodha’ shalat. Setiap shalat harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Kecuali dalam keadaan darurat, sehingga kita dibolehkan menjama’ baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir. Pada kasus seperti ini satu shalat kita lakukan secara ada’ dan yang lain kita lakukan secara qadha’. Kalau ada kewajiban mengqadha’ shalat, maka bagaimana secara syar’iyah orang yang gila selama sebulan misalnya. Karena selama sebulan yang bersangkutan tidak menjalani kewajiban shalat lima kali sehari? Sekali lagi semestinya kita dapat membedakan konsep “melaksanakan shalat secara qadha’” dan “mengqadha’ shalat”.
TAKHRIJ HADITS: Hadits ini diriwayatkan oleh 7 sahabat. Yaitu Aisyah, Abu Qatadah, Ali, Umar ibn Khatthab, Ibn Abbas, Sidad ibn Aus, dan Tsauban. Hadits Aisyah dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasai, Ibn Majah, Hakim, Ishak ibn Rahawaih, Darimi, Ibn Jarud, dan Ibn Hibban. Adapun hadits Abu Qatadah dikeluarkan oleh Hakim. Adapun hadits Ali dan Umar ibn Khatthab dikeluarkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasai dalam al-Kubra, Ibn Majah, Baihaqi, Ahmad, dan Hakim. Adapun hadits Ibn Abbas dikeluarkan oleh Thabrani dalam al-Kabir, dan dalam al-Ausath. Adapun hadits Syidad ibn Aus dan Tsauban dikeluarkan oleh Thabrani dalam al-Kabir, dan dalam al-Syamiyyin.
Referensi: Lebih lanjut silakan merujuk referensi berikut ini: Kasyf: 1/434. Turmudzi: 1899. Baihaqi dalam Syu’abil Iman: 7829, Hakim: 7249. Bazzar: 2394. Ahmad: 25157. Abu Daud: 4398. Nasai: 3432. Ibn Majah: 2041. Hakim: 2350. Ishak ibn Rahawaih: 1713. Darimi: 2296. Ibn Jarud: 148. Ibn Hibban: 142. Hakim: 8171. Abu Daud: 4402, 4403. Turmudzi: 1423. Nasai dalam al-Kubra: 7346. Ibn Majah: 2042. Baihaqi: 4858. Ahmad: 956, 1327. Hakim: 8169. Thabrani dalam al-Kabir: 11141. Dalam al-Ausath: 3403. Thabrani dalam al-Kabir: 7156, dalam al-Syamiyyin: 386.

