* ALHAMDULILLAH * ARTIKEL ILMIAH, KAJIAN TEMATIK & BUKU-BUKU TERBARU * TERBIT SETIAP HARI JUM'AT *

TURATS NABAWI

PENGUASA WALI HAKIM

PENGUASA WALI HAKIM

PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)

TEKS HADITS: La nikaha illa bi waliyyin wa sulthanu waliyyun man la waliyya lahu.

TERJEMAHAN: Tidak ada nikah tanpa wali dan penguasa adalah wali hakim baginya.

STATUS HADITS: SHAHIH.

PENJELASAN HADITS: Teks hadits di atas memerupakan potongan dari hadits yang cukup panjang. Di antara kelengkapan teks hadits tersebut adalah sebagai berikut: Wanita siapa pun yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, sekiranya ia telah digauli oleh suaminya maka baginya hak nafkah karena penghalalan terhadap farjinya. Dan penguasa adalah wali hakim bagi yang tidak memiliki wali nasab. Adapun munculnya sisipan “penceraian” ternyata hadits itu sangat lemah sebagaimana yang dijelaskan pada takhrij hadits. Dari hadits inilah dapat disimpulkan bahwa keberadaan “wali” menjadi syarat sahnya sebuah pernikahan, apakah status wali merupakan wali nasab atau wali hakim. Hadits yang segamblang ini oleh sebagian pemikir muda dinilai mendesktiditkan kedudukan wanita. Tuntutan kesetaraan gender memasuki wilayah syari’at seperti ini. Sehingga persyaratan adanya wali bagi wanita dinilai merupakan tindakan diskriminatif dan pelecehan. Kedepan wanita harus disejajarkan dengan laki-laki. Bilamana laki-laki tidak dituntut adanya perwalian, maka wanita pun sedemikian juga. Sehingga hadits di atas dinilai mereka tidak sejalan dengan aspek keadilan dan kesetaraan gender. Sesungguhnya ketentuan adanya perwalian bagi wanita itu sudah menjadi aturan Dzat yang maha tahu untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain bukan hanya sesaat, melainkan untuk seumur hidupnya. Hal seperti inilah yang tentu di luar kemampuan nalar manusia bahkan di luar prediksi naluri kita. Disinilah sebagai muslim diuji ketaatan murni kepada agama. Ada kasus nyata yang menarik diangkat. Seorang suami kawin lagi tanpa sepengetahuan istri pertama. Dengan istri pertama melahirkan dua anak laki-laki, dan dari istri kedua melahirkan satu anak perempuan. Ternyata anak pertama (laki-laki) dari istri pertama pacaran dengan putri dari istri keduanya. Selama pacaran keduanya tidak faham kalau bapaknya sama, sampai waktu si anak laki-laki minta kepada bapaknya untuk dikenalkan kepada pacarnya. Mulai saat itulah terungkap bahwa pacarnya merupakan putra bapaknya sendiri dari istri kedua. Kita bisa membayangkan kalau pihak wanita tidak didampingi wali, tentu akan terjadi pernikahan sesama saudara. Ini satu dari sekian juta hikmah tasyri’ yang sudah digariskan Allah lewat Rasul-Nya. Sehingga semestinya tidak ada sikap lain kecuali taat kepada aturan agama, bahwa dalam kondisi apa pun wanita selalu didampingi oleh walinya.  Ini bukan pelecehan atau pendiskriditan terhadap kedudukan wanita. Bahkan dengan cara seperti inilah akan menjaga kemuliaan terhadap wanita itu sendiri.

TAKHRIJ HADITS: Hadits ini diriwayatkan oleh Aisyah yang dikeluarkan oleh Ahmad, Turmudzi, Abu Daud, dan Ibn Majah. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Aisyah dan tidak ditemukan sahabat lain yang meriwayatkannya baik dengan lafadz seperti ini maupun yang semakna dengannya. Hadits jenis seperti ini oleh ulama disebut “hadits gharib” atau “hadits fard”. Banyak sekali contoh hadits gharib, misalnya hadits “innama al-a’mal bi niyyat (sesungguhnya amalan harus dibarengi dengan niat)” yang hanya diriwayatkan oleh Umar ibn Khattab. Kehujjahan hadits seperti ini sama dengan kehujjahan jenis hadits-hadits yang lain, yakni tergantung kepada kualitas sanadnya (mata rantai perawinya). Dalam pandangan ulama hadits, walaupun sebuah hadits jenisnya gharib, namun kalau sanadnya shahih, maka hadits itu dapat dijadikan hujjah, baik pada kajian aspek aqidah maupun syari’ah. Begitu banyak masalah aqidah yang dibangun dengan hadits Ahad, bukan dengan Al-Qur’an atau hadits mutawatir. Misalnya pembinaan seorang sahabat yang mengajarkan berbagai keyakinan, adanya malaikat Munkar dan Nakir, berita tentang tersenyumnya Allah, tertawanya Allah, turunnya Allah ke Baitul Izzah, turunnya Isa, dan sebagainya. Sekiranya hadits-hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah (landasan hukum) maka harus dilakukan rekontruksi aqidah. Adapun hadits dengan redaksi “Wanita mana pun yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, apabila telah digauli maka bagi wanita itu hak mahar karena penghalalan farajnya, lalu dicertaiakan. Namun apabila wanita itu belum digauli, maka diceraikan tanpa hak mahar. Dan penguasa adalah wali hakim bagi yang tidak memiliki wali nasab”, maka hadits ini sangat lemah, dikeluarkan Thabrani dalam al-Kabir, dari periwayatan Abdullah ibn Amr ibn al-Asyh, dalam kodifikasi Turmudzi dan lainnya tidak ditemukan adanya sisipan “penceraian”.

Referensi: Lebih lanjut silakan merujuk referensi berikut ini: Maqasid: 243. Tamyiz: 88. Kasyf: 1/456. Ahmad: 2148, 23074, 23237, 23162, 25035. Turmudzi: 1021. Abu Daud: 1784. Ibn Majah: 1869, 1870, 2089.

SILAHKAN SHARE SEMOGA BERMANFAAT :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: MAAF !!