* ALHAMDULILLAH * ARTIKEL ILMIAH, KAJIAN TEMATIK & BUKU-BUKU TERBARU * TERBIT SETIAP HARI JUM'AT *

TURATS NABAWI

POLA PENDIDIKAN LUKMAN TERHADAP ANAKNYA_1

POLA PENDIDIKAN LUKMAN TERHADAP ANAKNYA_1

PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)

Pola pendidikan Lukman terhadap anak-anaknya terdokumentasi dalam Al-Qur’an. Yakni Surat Lukman ayat 12 sampai 19. Jika dilakukan penelitian secara tematik, maka keteladanan Lukman dalam mendidik generasi yang akan datang tercermin menjadi empat pilar akar pendidikan Islami.

Al-Qur’an sebagai wahyu, kebenarannya adalah mutlak. Artinya konsep pendidikan yang tertera di dalam Al-Qur’an walaupun merupakan cermin perilaku manusia, eksistensinya bukan hanya untuk masyarakat tertentu, melainkan berlaku secara universal. Bahkan bukan hanya berlaku untuk masa tertentu, melainkan eksis sampai datangnya hari kiamat.

Itulah pantulan kisah-kisah konsep pendidikan para Nabi dan orang-orang saleh terdahulu. Keberadaanya di dalam Al-Qur’an menjadi syariat sepanjang masa, syariat yang dilegalkan oleh Allah dan RasulNya.

Sedemikian pula konsep pendidikan yang dicanangkan Lukman, dapat diimplementasikan kapan dan dimana saja umat Qur’ani menjalaninya. Untuk mengantarkan anak-anaknya menuju berkarakter yang berperadaban.

Keempat konsep dasar pendidikan Lukman dapat dipaparkan secara rinci sebagai berikut: Pertama, pendidikan yang berorientasi penanaman akidah ketauhidan; kedua, pendidikan berbasis monitoring Allah; ketiga, pendidikan berbasis ibadah; dan keempat, pendidikan berbasis interaksi sosial kemasyarakatan.

Dalam artikel ini, penulis membatasi asas pendidikan orang tua kepada anaknya yang pertama, yaitu pendidikan berorientasi penanaman akidah ketauhidan.

Pendidikan ketauhidan menjadi asas segala karakter baik yang melekat pada generasi muda maupun anak-anak. Sehebat konsep pendidikan apapun yang ditawarkan oleh para pakar, jika tidak didasari asas ketauhidan, maka hanyalah akan menghasilkan manusia intelek yang kurang bermoral, bahkan tidak bermoral. Padahal inti dari pendidikan itu sendiri adalah membangun karakter yang terpuji.

Harus disadari, ukuran terpuji versi pemikiran manusia dan adat istiadatnya bersifat semu dan lokal. Kadang apa yang dinilai baik menurut seseorang, belum tentu baik dalam takaran orang lain. Apa yang dinilai baik oleh adat isitiadat komunitas tertentu, belum tentu baik menurut masyarakat lainnya.

Contoh sederhana. Orang tua yang memegang kepala anaknya dalam kultur Arab mencerminkan kesetiaan, dan cinta kasih. Namun bagi masyarakat Indonesia bisa jadi masuk kategori pelanggaran Hak Azazi Manusia. Bahkan dalam area Nusantara saja. Sapaan “kalian” berkonotasi pada panggilan yang bersifat mengejek temannya. Mereka lebih terhormat jika dipanggil sapaan “Anda”. Namun berbeda di masyarakat Nusantara lainnya, sapaan “kalian” mencerminkan panggilan kehormatan. Maka takaran karakter kemuliaan sifatnya relatif, karena tidak dibangun dengan wahyu yang sifatnya universal.

Pendidikan terhadap anak-anak berbasis akidah ini sangat penting. Karena mereka akan memahimi untuk apa Allah menciptakan dirinya. Anak-anak akan menyadari bahwa mereka diciptakan adalah semata-mata untuk menjadi generasi yang saleh, generasi yang diridhai Allah swt.

Itulah sebabnya Lukman mendidik anak-anaknya untuk pandai mensyukuri nikmat Allah dengan mewujudkan kemurnian akidah, agar dalam berperilaku kesahariannya, selalu diwarnai dengan tauhid sosial. Siapa saja yang pandai mensyukurinya, maka sesungguhnya ia mensyukuri untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang mengkufurinya, tidak mau menjalankan ketaatan, sama sekali tidak menjadikan Allah tidak terpuji, bahkan Allah tetap terpuji. Begitulah anak-anak dalam bermuamalah terhadap orang tuanya. Siapa saja yang mematuhi bimbingan orang tuanya, maka dampak kebaikan akan kembali kepada dirinya. Dan jika anak-anak tidak menuruti kehendak orang tua, maka sama sekali tidak menghilangkan eksistensinya sebagai orang tua. Yang pada akhirnya penyesalan anak-anak itu sendiri di kemudian hari.

Firman Allah swt.:

وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: Bersyukurlah kamu kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Qs. Lukman: 12).

Itulah sebabnya, pendidikan Lukman kepada anak-anaknya yang paling utama di fokuskan pada aspek tauhid sosial. Dalam beberapa wasiatnya yang disampaikan Rasulullah saw., Lukman mendidik anak-anaknya sebagai berikut:

عَنْ لُقْمَانِ الْحَكِيْمِ أَنَّهُ قَالَ لِاِبْنِهِ: يَا بُنَيَّ! اِتَّخِذْ طَاعَةَ اللهِ تِجَارَةً؛ تَأَتْكَ الأرْبَاحُ مِنْ غَيْرِ بِضَاعَةٍ

Lukman berwasiat kepada anak-anaknya: Wahai anakku, Jadikanlah ketaatanmu kepada Allah sebagai perniagaan, maka kamu akan beroleh keuntungan walaupun bukan berwujud material.

Hr. Ahmad bin Hambal dalam Zuhud; Ibnu Abi Ashim dalam Zuhud; Baihaqi dalam Zuhud.

عَنْ لُقْمَانِ الْحَكِيْمِ أَنَّهُ قَالَ لِاِبْنِهِ: يَا بُنَيَّ! إِنَّ الدُّنْيَا بَحْرٌ عَمِيْقٌ، قَدْ غَرَقَ فِيْهَا نَاسٌ كَثِيْرٌ، فَلْتَكُنْ سَفِيْنَتُكَ فِيْهَا تَقْوَى اللهِ، وَحَشْوُهَا إِيْمَانٌ بِاللِه، وَشُرَاعُهَا اَلتَّوَكُّلُ عَلَى اللهِ؛ لَعَلَّكَ تَنْجُوْ، وَلاَ أَرَاكَ نَاجِيًا

Lukman berwasiat kepada anaknya: Wahai anakku, dunia ini lautan yang dalam. Banyak orang yang tenggelam. Maka jadikan perahumu berdasar takwa kepada Allah, isinya keimanan kepada Allah, dan layarnya tawakal kepada Allah. Semoga kamu selamat, walaupun aku tidak menjamin melihatmu terselamatkan.

Hr. Ibnu Mubarak dalam Zuhud; Ahmad dalam Zuhud; Baihaqi dalam Zuhud.

Anak-anak diajak berfikir secara interaktif. Keinginan mereka untuk meraup dunia tidak terelakkan. Namun apa jadinya semua itu jika tidak didasari pada aspek tauhid sosial. Sesungguhnya cita-cita mereka untuk meraih materi yang berlebihan tidak akan mampu mengantarkan kebahagiaan dunia dan akhiratnya.

SILAHKAN SHARE SEMOGA BERMANFAAT :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: MAAF !!