TURATS NABAWI

REKONTRUKSI PELAKSANAAN HAJI

REKONTRUKSI PELAKSANAAN HAJI

PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)

PENDAHULUAN
Fenomena pelaksanaan haji sangat memprihatinkan. Tahun demi tahun jemaah haji yang meninggal kian bertambah. Sehingga melahirkan kesan seakan syari’at haji merupakan “ladang pembantaian manusia”. Hal ini mendorong sekelompok pemikir Islam progressif untuk mengkaji ulang waktu pelaksanaan ibadah haji dan menawarkan rekontruksi waktu pelaksanaan ibadah haji tersebut.

KONSEP AL-QUR’AN: MUWASSA’

Sesungguhnya apabila merujuk kepada Al-Qur’an, waktu yang disediakan oleh Allah untuk pelaksanaan ibadah haji itu sangat longgar (muwassa’), yakni pada bulan-bulan haram. Yang dapat difahami bulan Syawwal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah. Atau bulan Rajab, Syawwal Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah sebagaimana yang difirmankan Allah swt.: “Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. (Qs. Al-Baqarah: 197).

KONSEP HADITS: MUDHAYYAQ

Berbeda dengan konsep hadits, yang dapat difahami sangat mudhayyaq (sempit). Hanya dilakukan pada beberapa hari tertentu. Yakni tanggal 8 Dzul Hijjah sampai tanggal 12 Dzul Hijjah bagi yang nafar awal atau sampai tanggal 13 Dzul Hijjah bagi yang nafar tsani. Dalil yang dikemukankan biasanya adalah perintah Nabi saw. agar dalam hajinya mengikuti perilaku Nabi, sampai pada waktu pelaksanaannya. Dan waktu-waktu itulah yang didakwahkan secara ijmak untuk pelaksanaan ibadah haji. Dengan demikian kalau mengacu kepada Al-Qur’an ibadah haji dapat dilakukan pada “asyhur ma’lumat”(bulan-bulan yang dimaklumi), namun apabila mengacu kepada hadits ibadah haji hanya dapat dilakukan pada “ayyam ma’lumat” (hari-hari yang dimaklumi).

DAMPAK PSIKOLOGIS

Aqabah, tempat pelemparan jumrah merupakan sebuah lembah sempit yang sisi kiri dan kanannya merupakan gunung cadas. Tempat yang sempit inilah yang kelak dilalui oleh jutaan umat. Maka sudah menjadi sunnatullah, terjadi berjubelnya umat yang over load. Maka sebagai konsekuwensi logis, sekian jamaah haji akan terhimpit oleh temannya sendiri, maka berapa banyak jamaah yang menjadi korban khususnya bangsa Indonesia yang hampir 35 prosen beresiko tinggi. Istilah orang jawa “lempar jumrah adalah setor nyawa”.

Sebenarnya pihak yang berwenang sudah memberi solusi cerdas. Yakni dengan penggiliran waktu pelemparan jumrah, sehingga terjadinya korban dapat diminimalkan. Namun aturan itu sering dinilai tidak efektif. Karena umat dalam pandangannya akan mengejar waktu yang diyakini afhal sebagaimana yang akan diuraikan lebih lanjut.

HAJI ADALAH PAKET

Rekontruksi syari’at bukan hal yang sepele. Karena pemahaman terhadap teks keagamaan tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus difahami secara komprehensif. Konsep ibadah haji bukan hanya “hajian saja”, melainkan sebuah rangkaian “paket”, yakni haji dan umrah. Hal ini dapat difahami dari firman Allah: “Sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah”. (Qs. Al-Baqarah: 196).

Dengan demikian tidak salah apabila Al-Qur’an menginformasikan bahwa masa jedah ibadah haji sangat longgar (muwassa’). Bergantung jenis haji apa yang akan dilakukan seorang muslim. Betapa pun umrah di bulan Ramadhan fadhilahnya seperti haji. Namun umrah di bulan itu tidak dapat dijadikan paket haji. Karena tidak dilaksanakan “pada bulan-bulan haji”. Dengan masukmnya bulan Syawwal memang seorang muslim sudah dapat berihram untuk haji, namun ia selamanya belum boleh tahallul, kecuali telah sampainya qurban pada tempat penyembelihannya, yakni tanggal 10 Dzul Hijjah. Sebagaimana firman-Nya “Dan janganlah kamu mencukur kepalamu (tahallul), sebelum qurban sampai di tempat penyembelihannya”. (Qs. Al-Baqarah: 196).

SOLUSI CERDAS

Semestinya setiap syari’at itu melahirkan kenikmatan bagi pelakunya dan berdampak rahmat bagi temannya. Maka setiap perilaku keagamaan apabila tidak mendatangkan rahmatan lil alamin perlu mengoreksi diri. Sesungguhnya bukan syari’atnya yang harus disalahkan, melainkan kita, pelaku syari’at lah yang harus bercermin diri.

Betapa banyak hadits intruksi yang kita dapati, namun hadits aplikasinya terlupakan, padahal kita meyakini bahwa Rasulullah saw. adalah uswah hasanah. Apabila semua hadits aplikasi terkait dengan lempar jumrah telah terpenuhi maka tidak mungkin syariat tersebut berdampak negatif bagi umat, seperti yang kita saksikan dewasa ini.

JUMRAH SIMBOL SYETAN

Teologi bahwa lempar jumrah merupakan simbol pelemparan Iblis memang dapat diterima. Karena dalam cerita awalnya ketika Ibrahim hendak menyembelih putranya, dia diganggu Iblis, sehingga gagal melaksanakan eksekusi. Maka Iblis itu dilemparnya. Begitulah pada tahap kedua sampai pada tahap ketiga, suatu perintah harus dilaksanakan. Maka Tuhan menyeru untuk menghentikannya dan akhirnya dirupakan dengan penyembelihan ternak.

Namun pada wilayah aplikasinya tidak sedikit dari jamaah haji yang dengan nalarnya ia mengambil batuan besar untuk dilemparkan kepada Iblisnya, tetapi yang kena bukan jumrah melainkan temannya sendiri. Semestinya aplikasi pelemparan jumrah mengikuti keteladan Nabi. Yang digunakan bukan hajar (batu besar), malainkan hashat (kerikil kecil) yang dapat dijimpit dengan dua jari. Dan dengan penuh hikmat dan tumakninah, tidak dengan nafsu dan emosional. Yang akhirnya berapa orang yang menjadi korban dari perilakunya.

DHUHA: WAKTU YANG AFDHAL MELEMPAR JUMRAH?!

Sungguh agama ini sangat sederhana. Sungguh agama ini sangat mudah. Allah tidak ingin mempersulit hambaNya, bahkan yang dikehendaki Allah adalah hal yang mudah bagi hamba-Nya sebagaimana yang difirmankan Allah swt.: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (Qs. Al-Baqarah: 185). Dalam hadits Nabi lebih dipaparkan secara detail: Berilah khabar kegembiraan kepada umat dan jangan ditakut-takuti mereka itu. Permudah urusan umat dan jangan dipersulit urusan mereka.

Namun ketika sampai di nalar ulama’, kenapa berubah menjadi sangat sulit? Pertanyaan yang muncul apakah ada teks Al-Qur’an atau teks hadits Nabi yang secara eksplisit menyatakan bahwa waktu yang afdhal melempar jumrah Aqabah adalah dhuha?! Memang benar ketika Rasulullah saw. melempar jumrah Aqabah dikhabarkan pada waktu dhuha, namun terlalu dini apabila disimpulkan bahwa waktu dhuha adalah waktu yang afdhal untuk melontar jumrah Aqabah. Dampak fatwa seperti inilah yang membuat berjubelnya umat hanya beranggapan ingin menggapai waktu yang afdhal. Maka sunnahtullah akan terjadi himpitan yang luar biasa dan berdampak kecelakaan besar yang tidak dapat dihindari.

Padahal dalam hadits lain yang shahih, umat yang lemah dan para wanita tengah malam diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk melanjutkan perjalanan ke Mina, tidak seperti kaum yang kuat yang dianjurkan Rasulullah saw. untuk tetap mabit (bermalam) di Muzdalifa sampai Subuh. Pesan Nabi: Sesampainya kalian di Mina, tunggu waktu shalat Subuh, setelah itu silakan melontar jumrah Aqabah. Sekiranya ada hamba Allah yang mentaati perintah Rasulullah seperti ini, ia tidak mabit di Muzdalifah sampai Subuh, cukup mabit sampai tengah malam, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Mina (yang jaraknbya kurang lebih 3 km). Setelah di Mina ia menunggu datangnya waktu Subuh, kemudian melontar jumrah Aqabah (sebelum Dhuha), apakah perilaku hamba ini tidak afdhal?!

Ditemukan hadits yang lain. Ketika Rasulullah saw. sampai diMina, beliau berkhutbah dan membuka dialoq interaktif. Setiap sahabat menanyakan: Bolehkah saya mendahulukan penyembelihan qurban sebelum lempar jumrah? Nabi menjawab: Silakan, tidak masalah. Dan pada semua pertanyaan yang disampaikan para sahabat dalam hal mendahulukan dan mengakhirkan aktifitas waktu itu Nabi selalu menjawab: Silakan, tidak masalah.

Berawal dari mengamalkan tuntunan Nabi seperti ini, kemudian ada seorang hamba ketika sampai di Mina (waktu dhuha) ia tidak melontar jumrah Aqabah terlebih dahulu, melainkan mendahukan penyembelihan qurban yang kadang memakan waktu sampai 4 jam atau lebih., di sore hari baru ia melontar jumrah Aqabah sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw, apakah perilaku hamba ini tidak afdhal?

Sebegitu lama masa jedah yang dipersiapkan oleh agama. Menurut hadits shahih “kerjaan kita hari ini”. Konsep “hari” bisa dimaknai setelah Subuh sampai tenggelamnya matahari. Bahkan ada yang mendefinisikan mulai Subuh sampai waktu Subuh berikutnya. Agar setiap pelaku haji dapat menikmati manasik haji ia dipersilahkan mau melontar jumrah Aqabah kapan pun pada tanggal itu. Pagi hari, dhuha, siang, sore bahkan malam hari. Bergantung kemampuan yang dimiliki setiap individu pelaku haji. Andaikan hadits-hadits di atas difahami secara proporsional, mudah-mudahan tidak terjadai “ladang pembantaian manusia”

PENUTUP
Ya Allah bukan syari’at-Mu yang membuat sumber kebencanaan, namun kamilah yang kurang memahami agamaMu sehingga dampak yang kami lakukan bukan sebagai rahmatan lil alamin, melainkan membantai teman kami sendiri. Kami menyadari kekeliruan bukan pada aturan syari’atMu tetapi pola pemikiran kamilah yang terlalu jauh dari kehendakMu. Allahumma yassir lana wa la tu’assir ‘alaina. Allahhumma yassir lana ziyarat masjidil haram, wa yassir lana ziyarat masjid Nabawi. Allahumma ballighna Makkatal mukarramah, wa ballighna Madinal musyarafah laadail hajji wal umrah waz ziyarah. Birahmatika ya arhama rahimin. Amin.

SILAHKAN IKUTI KAMI & SHARE KE SESAMA - SEMOGA BERMANFAAT :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: MAAF !!