TURATS NABAWI

RIDHA ALLAH BERGANTUNG PADA RIDHA ORANG TUA

RIDHA ALLAH BERGANTUNG PADA RIDHA ORANG TUA

PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)

TEKS HADITS: Ridha al-Rabb fi ridha al-walid wa sukhthu al-Rabb fi sukhthi al-walid Ada lagi dengan redaksi ridha Allah fi ridha al-walidaini wa skhthu Allah fi sukhthi al-walidaini.

TERJEMAHAN: Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua dan kemurkaan Allah juga bergantung kepada kemurkaan orang tua.

STATUS HADITS: HASAN.

PENJELASAN HADITS: Taushiyah Rasulullah saw. di atas tentunya dapat difahami sebagai arahan beliau kepada para anak untuk hormat kepada kedua orang tua, sampai-sampai klimaks dari keridhaan Allah dinisbatkan kepada keridhaan kedua orang tuanya. Lebih-lebih di kala kita hidup di kurun sekarang yang banyak fenomena dimana orang tua sering terdzalimi oleh anak kandungnya sendiri. Dahulu ketika Rasulullah saw. masih hidup pernah mensitir sebuah hadits bahwa termasuk dosa besar adalah pencaci makian anak kepada kedua orang tuanya. Memang tidak terbayangkan kalau kasus seperti itu bakal terjadi pada keluarga muslim. Bagaimana ada anak yang dilahirkan dengan susah payah, kadang kelahiran anak berdampak kematian ibunya koq akhirnya ada anak yang berani mencaci maki orang tuanya?! Dewasa ini sudah menjadi kenyataan apa yang diprediksikan oleh Rasulullah saw. Bukan hanya ada anak yang mencaci maki orang tuanya, bahkan ada yang tega membunuh orang tuanya sendiri, naudzu billah. Untuk itulah giliran Rasulullah saw. memberi taushiyah kepada anak agar berbuat hal-hal yang menjadi ridhanya orang tua, bukan sebaliknya. Bahkan keridhaan Allah digantungkan kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah juga digantungkan pada kemurkaan orang tua. Hal ini terjadi tentunya ketika tindakan orang tua masih dalam koridor syar’iyah. Berbeda ketika kebijakan orang tua, apabila sudah keluar dari koridor syar’iyah, memang anak mempunyai hak untuk tidak mentaatinya, walaupun keduanya tidak meridhainya.

TAKHRIJ HADITS: Hadits ini diriwayatkan Abdullah ibn Amr ibn al-Asyh dan Abdullan ibn Umar. Adapun periwayatan Abdullah ibn Amr ibn al-Asyh dikeluarkan Turmudzi, Baihaqi dalam Syu’abil Iman, Hakim, Bazzar. Adapun periwayatan Abdullah ibn Umar dikeluarkan oleh Bazzar dan dalam sanadnya (mata rantai perawinya) ada yang bernama Ismah ibn Muhammad yang dinilai al-matruk (haditsnya harus ditinggalkan, istilah lain sebagai pemalsu hadits). Memang periwayatan Abdullah ibn Amr ibn al-Asyh ada yang bernilai al-marfu’ (ucapan itu dinisbatkan kepada Nabi saw.), namun juga ada yang bernilai al-mauquf (ucapan itu dinisbatkan kepada Abdullah ibn Amr ibn al-Asyh, bukan kepada Nabi saw.). Memang periwayatan hadits ini lewat jalur Muhammad ibn Ja’far dari Syu’bah dan teman-temannya (dari Ya’la ibn Atha’ dari bapaknya dari Abdullah ibn Amr ibn al-Asyh) nilainya al-mauquf. Namun periwayatan hadits ini lewat jalur Khalid ibn Harits dari Syu’bah nilainya al-marfu’. Syu’bah sendiri adalah seorang yang kredibel, dinilai tsiqah makmun. Maka periwayatannya yang bernilai al-marfu’ itu sepakat dapat diterima. Inilah aplikasi dari teori ulama hadits ziyadah al-tsiqah maqbulah. Indahnya keilmuan seperti ini bisa diterapkan secara ilmiah. Biasanya kita hanya mengerti sebuah teori namun belum tahu implementasinya dalam sebuah kajian hadits secara ilmiah, wallahu a’lam. Hadits di atas juga dinilai al-marfu’ lewat jalur sanad (mata rantai perawi) Abdurrahman ibn Mahdi dari Syu’bah sebagaimana yang dikeluarkan oleh imam Hakim. Dengan demikian hadits di atas ditemukan sangat meyakinkan, kadang bernialai al-mauquf, dan kadang bernilai al-marfu’.

Referensi: Lebih lanjut silakan merujuk referensi berikut ini: Turmudzi: 1899. Baihaqi dalam Syu’abil Iman: 7829, Hakim: 7249. Bazzar: 2394.

SILAHKAN IKUTI KAMI & SHARE KE SESAMA - SEMOGA BERMANFAAT :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: MAAF !!