
SHALAT PEMBEDA KEKAFIRAN
SHALAT PEMBEDA KEKAFIRAN
PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)
TEKS HADIS: Baina al-rajuli wa baina al-syirki wa al-kufri tarku al-shalah.
TERJEMAHAN: Yang membedakan antara seorang hamba dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.
STATUS HADIS: Hadis shahih.
TAKHRIJ HADIS: Hadits di atas diriwayatkan (1) Anas ibn Malik (2) Jabir ibn Abdullah. Hadits yang diriwayatkan Anas dikeluarkan Ibn Majah dengan redaksi “Tidaklah bandingan seorang hamba dengan kesyirikan kecuali meninggalkan shalat. Apabila ia meninggalkannya maka dia telah syirik”. Dalam sanad (mata rantai perawi hadits ini) ada yang bernama Yazid ibn Abban al-Raqqasyi yang dinilai lemah. Adapun hadits yang diriwayatkan Jabir ibn Abdullah dikeluarkan Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Ibn Majah, Baihaqi, Ahmad, Darimi, Abu Awanah, dan Ibn Hibban dengan redaksi “Yang membedakan antara seorang hamba dan kekafiran adalah meninggalkan shalat”.
PENJELASAN HADITS: Sebagaimana dimaklumi, syariat yang pertama dalam Islam adalah shalat. Bahkan selama periode dakwah di kota Makkah, yakni selama tiga belas tahun, yang diajarkan oleh Rasulullah saw. hanya shalat. Adapun syariat puasa, zakat dan haji barulah secara syar’i diterima dan diajarkan oleh Rasulullah saw. pada periode dakwah di kota Madinah. Itulah sebabnya masalah shalat bukan hanya masuk pada wilayah syariat, akan tetapi juga masuk pada wilayah aqidah. Hal ini mempertajam pemaknahan hadits di atas, bahwa orang yang secara sengaja meninggalkan shalat dapat dikategorikan orang syirik dan kafir. Namun harus difahami bahwa kekafiran yang dimaksud dalam hadits ini tentunya kekafiran di hadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Terhadap sesama manusia, Rasulullah saw. telah memberikan penjelasannya bahwa semua umat yang sudah berikrar syahadat maka harus dimasukkan komunitas muslim, baik ucapannya itu tulus dari lubuk hatinya maupun sekedar hiasan di bibir semata. Itu bukan urasan kita, melainkan urusan Allah belaka. Kesaksiannya berdampak terjaga dirinya sebagaimana terjaganya hamba-hamba muslim lainnya. Sabda Nabi: Saya hanyalah diperintah untuk memerangi kafir harbi sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sekiranya mereka telah mengikrarkannya, maka terjagalah mereka dari saya terhadap hartanya, darahnya dan kehormatannya. Masalah keihlasan dan tidaknya ucapannya itu adalah urusan Allah. Dengan paparan seperti ini, penulis terkejut ketika mendengar fatwa orang alim bahwa zakat fitrah tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak shalat dengan berdalil hadits di atas (yang tidak shalat dikategorikan kafir, dan zakat tidak boleh didistribusikan kepada orang kafir). Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kita memfonis seseorang “tidak shalat”. Jangan-jangan ia sudah shalat, namun memahaminya tidak seperti yang kita definisikan. Atau yang bersangkutan shalatnya tidak kita ketahui, dan lainnya. Maka tidak sepantasnya yang bersangkutan tidak diberi hak zakatnya. Kapan kita memahami hadits di atas untuk menghukumi diri sendiri, bukan untuk menghukumi orang lain. Seyogyanya pemaknahan hadits itu menjadi: Sayalah yang dikategorikan kafir, kalau saya tidak melaksanakan shalat (atau meninggalkan shalat). Dengan demikian sekiranya kita tidak ingin dikategorikan kafir, jangan coba-coba kita meninggalkan shalat dalam kondisi apa pun.
REFERENSI: Lebih lanjut silakan merujuk referensi berikut ini: Muslim: 82. Abu Daud: 4678. Turmudzi: 2619. Ibn Majah: 1078, 1080. Baihaqi: 6287. Ahmad: 15021. Darimi: 1233. Abu Awanah: 171. Ibn Hibban: 1453.

