* ALHAMDULILLAH * ARTIKEL ILMIAH, KAJIAN TEMATIK & BUKU-BUKU TERBARU * TERBIT SETIAP HARI JUM'AT *

TURATS NABAWI

SYAIKH ADALAH NABI BAGI SUATU KAUM

SYAIKH ADALAH NABI BAGI SUATU KAUM

PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)

TEKS HADITS: Al-Syaikh fi qaumihi ka al-Nabi fi ummatihi.

TERJEMAHAN: Seorang syaikh dalam sebuah komunitas kaumnya adalah seperti Nabi dalam komunitas umatnya.

STATUS HADITS: MAUDHU’ (PALSU).

PENJELASAN HADITS: Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani dan imam Ibn Taimiyah menyatakan bahwa pernyataan itu bukan dari lisan Rasulullah saw, melainkan muncul dari lisan manusia biasa. Nalarnya apabila Nabi memang berkomunikasi dengan kNabi omunitas umat, maka orang alim juga berkomunikasi dengan komunitas kaumnya. Ruang lingkup obyek pembicaraan Nabi tentu lebih luas ketimbang ruang lingkup komunitas orang alim. Dari sudut ini jelas tampak kebenaran statemen di atas. Namun dari sisi pengkultusan kaum terhadap seorang alim tidak bisa disamakan dengan pengkulatusan umat terhadap pernyataan Rasulullah saw. Wilayah penghargaan masyarakat kepada tokoh spriritual memang layak dilakukan. Mereka patut dimuliakan dan dihormati, namun apabila suda masuk wilayah ketaatan, maka sehebat apa pun manusia biasa dalam memahami syari’at Islam tidak dapat diidentikkan dengan ketaatan kita kepada para Rasul. Musibahnya sudah kita rasakan bersama, tampaknya kita merasa tidak afdhal apabila klita tidak mengatakan “para ulama yang kami ta’ati”, padahal ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan Rasulnya. Ketaatan kepada “ulil amri” adalah nisbi, setiap kita harus cerdas kapan perkataan orang alim dapat diikuti dan kapan pula pendapat mereka harus dikritisi. Itulah sebabnya kita dapati kesadaran internal orang alim agar tidak selalu mengikuti madzhabnya dan yang paling ditakuti sekiranya kaum selalu mengikuti madzhabnya. Misalnya pernyataan imam Malik: Pendapat kami harus ditolak dan ditolak, kecuali pendapat itu sesuai dengan penghuni makam ini (sambil menunjuk makam Rasulullah saw. ketika beliau berada di Raudhah). Imam al-Syafii dan lainnya selalu memberi nasehat kepada pengikutnya: Apabila hadits yang  kami jadikan rujukan shahih, maka itulah madzhabku (yang kalian layak mengikutinyua, namun sekiranya hadits yang digunakan merekla tidak shahih, maka seharusnya untuk tidak diikuti).

TAKHRIJ HADITS: Hadits ini dikeluarkan Ibn Hibban dalam kitab al-Dhu’afa’ (kumpulan hadits perawi dhaif) dan juga dikeluarkan oleh imam al-Dailami dari Utsman ibn Muhammad ibn Khasyis dari Abu Rafi’ dari Nabi dan juga  dikeluarkan Ibn Hibban dalam biografi Abdullah ibn Umar al-Afriqi dari Ibn Umar dan hadits ini dinilai “maudhu’ atau palsu”.  Penysusun hadits ini, yakni Ibnu Hibban sendiri juga mengkategorikan hadits di atas adalah hadits dhaif. Dan penyusun yang lebih arif memahami status hadits yang dikeluarkan dalam bukunya sendiri. Biang keruwetan hadits di atas karena dalam sanad (mata rantai perawi) hadits ini ada yang bernama Abdullah ibn Umar al-Afriqi, walaupun ada sejumlah kritikus yang menilai positif terhadap kredibilitasnya, namun tidak sedikit yang menilainya negatif. Bahkan penilaian negatif terhadap dirinya sangat spesifik dan detail, sehingga menurut kacamata ulama hadits peninalaian al-jarh “negatif” lah yang harus dikedepankan. Misalnya pernyataan dalam kitab al-Majruhin: Abdullah ibn Umar ibn Ghanim al-Afriqi meriwayatkan dari Malik hadits-hadits yang tidak pernah diriwayatkan Malik dan tidak boleh memperhatikan haditsnya bahkan tidak boleh meriwayatkan hadits darinya kecuali sekedar untuk dijadikan al-i’tibar saja. Biang keruwetan berikutnya karena muridnya yang bernama Utsman ibn Muhammad ibn Khasyis tidak dikenal nilai kredibilitasnya. Itulah sebabnya sebagaimana paparan di depan Ibn Hajar al-Asqalani menilai hadits ini palsu demikian pula imam Ibn Taimiyah dan lainnya.

Referensi: Lebih lanjut silakan merujuk referensi berikut ini: Maqasid: 257. Tamyiz: 92. Durar: 266. Kasyf: 2/17. Asrar: 229. Fawaid karya al-Syaukani: 286, 488. Ahadits al-Qushas: 85. Maud/207.hu’at: 1/183. Laaliy: 1/153. Tadzkirah Maudhu’at: 20. Tanzih Syari’ah: 1. Mizan al-I’tidal: 3/632. Faidh Qadir: 4/185.

SILAHKAN SHARE SEMOGA BERMANFAAT :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: MAAF !!