
TAHIYAT MASJID WAJIBKAH?
TAHIYAT MASJID WAJIBKAH?
PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)
PENGANTAR
Di sebuah masjid penulis berdampingan dengan teman salafi. Setelah selesai shalat Maghrib ia shalat dua rakaat sebanyak dua kali. Penulis bertanya, shalat apa itu. Ia menjawab: Yang dua rakaat pertama adalah ba’diyah Maghrib, dan dua rakaat kedua mengqadha’ tahiyat masjid karena tidak sempat menjalaninya saat masuk masjid (keburu iqamat dikumandangkan). Ketika penulis bertanya, kenapa di qadha’? Ia menjawab, karena hukumnya wajib. Orang yang tidak dapat menjalaninya saat pertama mendatangi masjid, maka ia wajib mengqadha’nya.
Salah satu referensi kajian teman salafi adalah kitab Al-Wajiz (Ensiklopedi Fikih Islam Dalam Al-Qur’an dan al-Sunah) karya Abdul Adzim bin Badawi al-Khalafi. Buku edisi Indonesianya diterbitkan pustaka al-Sunah, Jakarta, edisi ke-4 tahun 2007 sebagai rujukan diskusi bersama. Itulah sebabnya diskusi lebih lanjut menggunakan buku pintar mereka, lebih fokus dan lebih efektif.
PAPARAN DALAM AL-WAJIZ
Pada sub pokok bahasan ke-8 dalam Bab Shalat Jamaah, dipaparkan shalat tahiyat masjid sebagai berikut: Apabila seorang masuk masjid, ia wajib shalat tahiyat masjid dua rakaat sebelum duduk.
عَنْ أَبَي قَتَادَةَ بْنَ رِبْعِيٍّ الأنْصَارِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ، فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
Dinarasikan Abu Qatadah bin Rib’i ra., Rasulullah saw. bersabda: Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, maka jangan langsung duduk sehingga shalat dua rakaat (tahiyat masjid). Muttafaq alaihi. Fathul Bari: III: 48 no: 1163. Muslim: I: 495 no: 714. Aun Ma’bud: II: 133 no: 463. Tirmidzi: I: 198 no: 315. Ibnu Majah I: 324 no: 1013 dan Nasai II: 53.
Penulis mengatakan wajib shalat tahiyatul masjid berdasarkan dhahir perintah hadits di atas yang tidak ada qarinah-qarinah (indikasi-indikasi) yang memalingkannya dari dhahirnya sebagai sebuah kewajiban, kecuali hadits Thalhah bin Ubaidullah.
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ؟ فَقَالَ: الصَّلَوَاتِ الخَمْسَ إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ
Thalhah bin Ubaidullah berkata: Seorang Arab baduwi menghadap Rasulullah saw. dalam kondisi berambut kusut seraya berkata: Wahai Rasulullah, kabarkan padaku shalat apa yang diwajibkan Allah bagiku. Nabi bersabda: Shalat lima waktu. Kecuali anda ingin shalat sunah. Muttafaq alaihi. Fathul Bari: I/ 106, hadits: 46. Muslim: I/ 40, hadits: 11. Aunul Ma’bud: II/ 53, hadits: 387 dan Nasai: IV/ 121.
Di dalam Nailul Authar: I/ 364, Syaukani memaparkan sebagai berikut: Upaya menjadikan hadits Thalhah ini sebagai dalil yang menunjukkan tidak wajibnya shalat tahiyat masjid perlu ditinjau kembali.
Menurut hemat saya (Syaukani) apa saja yang terdapat pada mabadi’ Islam (dasar-dasar ajaran Islam) tidak boleh dilibatkan dalam memalingkan dalil yang datang sesudahnya. Jika demikian, maka kewajiban-kewajiban syariat seluruhnya hanya terbatas pada shalat lima waktu saja. Ini jelas-jelas berbenturan dengan ijma’ ulama dan mementahkan mayoritas kandungan syariat Islam. Yang hak, bahwa dalil yang shahih dan datang belakangan yang harus sesuai dengan ketentuannya, baik yang wajib, sunah maupun lainnya. Memang dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat, namun pendapat yang mewajibkanlah yang paling kuat di antara dua pendapat.
Pendapat yang mengokohkan mewajibkan shalat tahiyat masjid adanya (diperkuat) perintah Nabi saw. walaupun belaiu dalam kondisi berkhotbah.
عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ رَجُلًا جَاءَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ: أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْ
Jabir ra. berkata: Seseorang datang di hari Jum’at saat Nabi saw. sedang berkhotbah. Lalu Nabi saw. bertanya: Apakah anda sudah shalat tahiyat masjid? Ia menjawab: Belum. Maka Nabi saw. bersabda: Bangkit dan shalatlah (tahiyat masjid). Hr. Muttafaq alaihi. Fathul Bari: II/ 407, hadits: 930. Muslim: II/ 596, hadits: 875. Aunul Ma’bud: IV/ 464, hadits: 1102. Tirmidzi: II/ 10, hadits: 508. Ibnu Majah: I/ 353, hadits: 112 dan Nasai: III/ 107.
Demikian penukilan dari kitab asli yang penulis nukil dengan makna, semoga tidak keluar dari substansinya.
PENJELASAN DAN TANGGAPAN
Ada dua hadits yang dijadikan pijakan dalam mewajibkan shalat tahiyat masjid. Pertama hadits Abu Qatadah, kedua hadits Jabir.
HADITS ABU QATADAH
Hadits ini bukan hanya diriwayatkan oleh Abu Qatadah, melainkan juga oleh Jabir dan Abu Hurairah. Riwayat Abu Qatadah dikeluarkan Malik: 386; Abdurrazaq: 1673; Ahmad: 22705; Ibnu Abi Syaibah: 3419; Darimi: 1393; Bukhari: 433; Muslim: 714; Abu Dawud: 467; Tirmidzi: 316; Nasai: 730; Ibnu Majah: 1012; Ibnu Khuzaimah: 1827; Ibnu Hibban: 2495; Thabrani dalam Mu’jam Kabir: 3280; Thabrani dalam Mu’jam Ausath: 8958; Thabrani dalam Mu’jam Shaghir: 383; Abu Awanah: 1238; Baihaqi: 4702. Periwayatan Jabir dikeluarkan Thahawi: 1/371. Dan periwayatan Abu Hurairah dikeluarkan Ibnu Majah: 1012 dan Thabrani dalam Mu’jam Ausath: 2328.
Hanya saja redaksinya “sekedar perintah”, tidak spesifik menyatakan wajib atau fardhu. Dengan qarinah periwayatan Thalhah bin Ubaidullah justru tidak mungkin difahami sebagai perintah wajib sebagaimana yang akan penulis paparkan pada takhrijnya.
HADITS JABIR BIN ABDULLAH
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنهما قَالَ: (جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ رضي الله عنه يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم قَاعِدٌ عَلَى الْمِنْبَرِ, فَقَعَدَ سُلَيْكٌ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ) (فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم: أَصَلَّيْتَ شَيْئًا؟ قَالَ: لَا) (قَالَ: قُمْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ) (وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا) (وَلَا تَعُودَنَّ لِمِثْلِ هَذَا) (ثُمَّ أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم عَلَى النَّاسِ) (فَقَالَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ, فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ) (وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا) (ثُمَّ لِيَجْلِسْ)
Jabir bin Abdullah ra. berkata: (Sulaik al-Ghathafan di hari Jum’at masuk masjid dan Nabi saw. duduk di mimbar, ia langsung duduk sebelum shalat tahiyat masjid) (Lalu Nabi menegurnya: Apakah anda sudah shalat? Ia menjawab: Tidak) (Nabi bersabda: Bangkit dan shalatlah dua rakaat) (peringan keduanya) (jangan anda ulangi seperti itu). (Kemudian Nabi saw. menghadap umat seraya bersabda: Jika salah seorang di antara kalian datang di hari Jum’at dan imam sedang berkhotbah, maka hendaknya ia shalat dua rakaat) (dengan memperingan keduanya) (kemudian duduk). Hr. Bukhari: 888, 889; Muslim: 875; Abu Dawud: 1115, 1116, 1117; Tirmidzi: 510; Nasai: 1400; Ahmad: 14207, 14445, 15109; Ibnu Hibban: 2504; Daraqutni: 11.
Hadits ini juga sekedar perintah, tidak ditemukan indikasi kewajibannya. Jika cara istimbat hukumnya mendengar khotbah Jum’at hukumnya wajib dan tidaklah seseorang diperintah meninggalkannya tentu untuk sebuah kewajiban, istimbat hukum seperti ini juga tidak benar. Karena jika begitu cara istimbat hukumnya, tentu tahiyat masjid bukan lagi wajib, melainkan lebih wajib dari mendengar khotbah. Jika istimbat hukumnya walaupun mendengar khotbah Jum’ah hukumnya wajib namun orang yang baru datang masih diijinkan shalat tahiyat masjid dengan catatan memperingan shalatnya, sehingga ia tetap dapat mendengar khotbah. Maka tahiyat masjid tetap hukumnya sunah. Disinilah perlunya kajian hadits secara utuh, tidak sepotong, sehingga pelakunya tetap disunahkan shalat tahiyat masjid dengan tidak memperpanjang shalatnya.
Sebenarnya ada dalil lain yang menunjukkan diysariatkan shalat tahiyat masjid. Yaitu hadits
وَعَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ قَالَ: (دَخَلَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رضي الله عنه يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَرْوَانُ يَخْطُبُ, فَقَامَ يُصَلِّي, فَجَاءَ الْحَرَسُ لِيُجْلِسُوهُ, فَأَبَى حَتَّى صَلَّى, فَلَمَّا انْصَرَفَ أَتَيْنَاهُ, فَقُلْنَا: رَحِمَكَ اللهُ, إِنْ كَادُوا لَيَقَعُوا بِكَ, فَقَالَ: مَا كُنْتُ لِأَتْرُكَهُمَا بَعْدَ شَيْءٍ رَأَيْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم ثُمَّ ذَكَرَ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِي هَيْئَةٍ بَذَّةٍ وَرَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ) (فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم: أَصَلَّيْتَ؟ قَالَ: لَا, قَالَ: صَلِّ رَكْعَتَيْنِ
Iyad bin Abdullah bin Abi Sarh berkata: (Abu Sa’id al-Khudri ra. masuk masjid ketika Marwan sedang berkhotbah, ia lalu shalat. Kemudian datang pengawal Marwan untuk mendudukkannya. Ia menolak dan tetap shalat. Usia shalat Jum’at kami mendatanginya. Kami berkata: Semoga Allah merahmatimu, mereka hampir melukaimu. Abu Sa’id berkata: Aku tidak akan meninggalkannya sejak aku menyaksikannya dari Rasulullah saw. Kemudian ia mengisahkan seorang masuk masjid di hari Jum’at dalam kondisi berpakaian lusuh saat Rasulullah saw. khotbah Jum’at) (Lalu Rasulullah saw. bertanya: Apakah anda sudah shalat. Ia menjawab: Belum. Nabi saw. bersabda: Shalatlah dua rakaat. Hr. Abu Dawud: 1675; Tirmidzi: 511; Nasai: 1408; Ahmad: 11213.
QARINAH KEWAJIBAN MENUJU SUNAH
Jika hadits Thalhah diklaim bukan qarinah yang memalingkan asal hukum perintah, justru inilah yang menjadi inti kajian hukum. Karena pentingnya hadits ini berikut paparan takhrij haditsnya:
وَعَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ رضي الله عنه قَالَ: (جَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ثَائِرَ الرَّاسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلَا يُفْقَهُ مَا يَقُولُ , حَتَّى دَنَا) (مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم) (فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لَا, إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: وَصِيَامُ رَمَضَان, فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ؟ قَالَ: لَا, إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الزَّكَاةَ, فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لَا, إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ) وفي رواية: (قَالَ: فَأَخْبِرْنِي بِمَا افْتَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنْ الزَّكَاةِ, فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِشَرَائِعِ الْإِسْلَامِ) (قَالَ: فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ: وَاللهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ) (فَلَمَّا وَلَّى قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:) (أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ) وفي رواية: (لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ) وفي رواية: مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ, فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا
Thalhah bin Ubadullah ra. berkata: (Seorang penduduk Najed menghadap Rasulullah saw dalam kondisi rambut yang kusut, suaranya keras tak dapat difahami. Akhirnya ia mendekat) (kepada Nabi saw.) (Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Nabi bersabda: Shalatlah lima kali sehari. Ia bertanya: Apakah ada kewajiban lainnya? Nabi bersabda: Tidak, kecuali anda shalat sunah. Rasulullah saw. juga menjelaskan tentang zakat. Ia bertanya: Apakah ada yang lain. Nabi menjawab: Tidak, kecuali anda memberi yang sunah). (Dalam riwayt lain: Ia bertanya: Kabarkan kepadaku tentang kewajiban Allah dalam zakat. Lalu Nabi saw. menjelaskan syariat-syariat Islam lainnya -seperti puasa dan lainnya-). Ketika orang itu pergi sambil bergumam: Demi Allah aku tidak menambah dan menguranginya) (Maka Rasulullah saw. bersabda): (Sungguh bahagia jika ia jujur) Dalam riwayat lain: (Jika jujur ia masuk surga). Dalam riwayat lain: Siapa yang merasa senang melihat penghuni surga, silahkan memperhatikan orang itu). Hr. Bukhari: 46, 1333, 1891, 6556; Muslim: 11, 14; Abu Dawud: 392; Nasai: 459, 2090.
Dari paparan takhrij hadits di atas dapat dicermati. Penanya dalam hadits ini bukan sembarang orang. Yang ditanyakan bukan hanya kewajiban shalat, melainkan kewajiban harta (zakat), dan puasa (Ramadhan), walaupun tidak menanyakan haji karena dimungkinkan belum disyariatkannya. Tampaknya yang bertanya bukan orang badui atau mualaf, melainkan Jibril as. Hal itu dapat dicermati sifat-sifatnya. Jika periode dakwah Makkah ia bertanya rukun Iman, maka periode dakwah Madinah ia menanyakan rukun Islam.
Dalam kajian secara tekstual tentunya tidak perlu dipertajam siapa hakikat penanya, apakah orang awam, atau tokoh tidak menjadi masalah. Teks itu menunjukkan secara jelas bahwa kewajiban shalat hanya lima waktu, berarti selain lima waktu adalah sunah (kecuali Jum’at bagi yang mampu menjalaninya sebagai pengganti shalat Dhuhur).
Sedemikian pula munculnya perintah shalat tahiyatul masjid, tentunya dihukumi sunah. Sama halnya perintah-perintah shalat lainnya, seperti shalat witir, shalat dua rakaat fajar, shalat syuruq, shalat dhuha, shalat tobat, shalat hajat. Tidak mungkin menggunakan asal perintah hukumnya wajib dalam kasus seperti ini.
ama halnya seperti hukum puasa, hanya puasa Ramadhan yang wajib, selain puasa Ramadhan adalah sunah, walaupun muncul berbagai perintah seperti puasa Asyura, puasa bidh (ketika purnama), puasa Senin dan Kamis, puasa Dawud dan lainnya.
Sama halnya hak harta yang wajib hanyalah zakat. Selain zakat adalah sunah, walaupun muncul berbagai perintah jenis-jenis mengeluarkan harta, seperti infak, hibah, nihlah, wakaf dan lainnya.

