TURATS NABAWI

PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN ANAK MENURUT NABI SAW

PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN ANAK MENURUT NABI SAW

PENULIS: UST. ZAINUDDIN MZ (DIREKTUR TURATS NABAWI PUSAT STUDI HADITS)

Dalam sebuah hadits yang dinarasikan Abu Hurairah ra. Telah direkam oleh para kodifikator hadits sebagai berikut:

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ

Rasulullah saw. bersabda: Semua yang dilahirkan adalah dalam kondisi fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dirinya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana seekor binatang yang melahirkan anaknya dengan sempurna, apakah kalian mendapatkan cacat padanya?. (Hr. Bukhari 1/456: 1292; Muslim 4/2047: 2658, dan Abu Daud 4/299: 4714).

Fitrah dalam konteks ini adalah kemurnian ketauhidan terhadap Allah swt. sebagai sang Khaliqnya, seperti yang difirmankan oleh Allah swt.:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Wahai Muhammad, ingatlah ketika Tuhanmu mengambil perjanjian dari anak keturunan Adam saat masih berada dalam rahim ibunya, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri. Firman-Ku kepada manusia: “Wahai manusia, bukankah Aku adalah Tuhan kalian?” Mereka menjawab: “Benar, kami bersaksi.” Wahai manusia, perjanjian itu dibuat supaya pada hari kiamat kelak manusia tidak berkata: “Di dunia dahulu kami tidak pernah mengenal ajaran tauhid.” Atau kalian berkata: “Nenek moyang kami dahulu telah menjadi musyrik dan kami adalah anak keturunan mereka. Wahai Tuhan, apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan sesat nenek moyang kami dahulu?” Demikianlah Kami jelaskan syari’at Kami secara rinci kepada manusia. Mudah-mudahan manusia yang sesat mau bertobat kepada Tuhannya. (Qs. Al-A’raf: 172-174).

Itulah sebabnya, menurut Nabi saw. Orang tua mempunyai peran yang sangat besar dalam pendidikan anak, apalagi pada masa proses melahirkan anak. Konsep “al-kufu’” (keseimbangan), pada tempo dulu lebih dititik beratkan pada aspek teologis, walaupun dapat diaplikasikan pada aspek-aspek lainnya, seperti aspek ekonomi, keilmuan, sosial dan sebagainya, namun sekali lagi aspek teologis lebih dominan dan sangat urgen.

Dengan demikian konsep pembauran dengan tidak memperhatikan aspek teologis perlu diwaspadai. Jika di Negara Turki konsep pembauran ini sukses dengan “semangat nasionalisme”, sehingga untuk pernikahan tidak perlu memperhatikan dari agama apa mereka menikah, maka pembauran di Indonesia dirasa lebih efektif dengan payung filsafat perenial yang menganggap bahwa inti keagamaan adalah kehanifan, sehingga seluruh umat beragama tidak perlu lagi mempertimbangkan identitas keagamaannya.

Jika alat cetak manusia sudah sedemikian rupa, maka dipastikan kefitrahan anak yang dilahirkan akan melenceng dari yang sebenarnya, sedemikian hebatnya Rasulullah saw. memberi bimbingan kepada umatnya untuk melahirkan generasi yang berjalan sesuai dengan fitrah, inilah fokus dalam pendidikan yang diharapkan. Kerena dengan penjagaan fitrah, diharapkan bukan menjadikan anak yang sekedar mengejar intelektualitas, namun lebih terfokus pada moralitas yang terpuji.

Berangkat dari inti pendidikan inilah, jika pada akhirnya anak dibesarkan dengan intelektual yang pas-pasan pasti berdampak rahmat, demikian pula jika pada akhirnya ia ditakdirkan menjadi manusia yang intelek, maka juga akan berdampak kepada rahmatan lil ‘alamin.

Pada sisi lain, berapa banyak hak-hak anak yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. dirampok oleh orang tuanya sendiri, mulai dari doa ketika menggauli istri, memberikan konsumsi yang halal untuk jabang bayinya, ucapan-ucapan kelembutan terhadap istri yang sedang hamil, doa keshalihan untuk anak yang akan dilahirkan, doa kelahiran agar dijadikan generasi yang Islami, aqiqah dan penebusan diri anak dari belunggu pegadaiannya, sampai kepada perilaku yang selalu menjadi panutan sesuai dengan tumbuh dan berkembangnya anak.

Itulah sebabnya ketika terjadi noda moral pada anak, yang ditegur oleh Rasulullah saw. adalah orang tuanya. Kenapa sikap anak tidak mencerminkan pendidikan yang Islami, bahkan layak dinamakan anak haram! Akar masalahnya karena pada pertumbuhan anak terkontaminasi dengan makanan-makanan yang haram, hasil korupsi, manipulasi, atau usaha lain yang tidak sesuai dengan syari’at.

Analogi kefitrahan manusia dalam teks hadits di atas dengan kesempurnaan kelahiran binatang tentu tidak lepas dari pola fikir komunitas pada zaman Rasulullah saw. Yang mayoritas adalah para pengembala hewan. Hal ini akan berbeda sekiranya Nabi saw. Hidup bersama kita saat ini. Barangkali analogi kefitrahan akan disamakan dengan produk yang sangat canggih, sehingga pada fikiran umat yang mendengarkan terkesan begitu sempurnanya fitrah yang dianugerahkan oleh Allah kepada para makhluk-Nya. Dewasa ini sangat banyak ciptaaan kesempurnaan yang layak dijadikan analogi kefitrahan tersebut, sehingga bahasa yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Sangat dapat difahami oleh komunitas yang hidup pada zamannya.

Sedemikian rupa hal-hal yang sangat mempengaruhi pendidikan anak, pada tempo dulu tentu orang tua yang memiliki andil besar dalam perilaku anak. Artinya itulah yang akrab digauli oleh anak tempo dulu. Hal ini telah berbeda dengan perikehidupan manusia saat ini yang mewarnai pendidikan anak ternyata bukan orang tuanya, kesibukan kedua orang tua dalam berbisnis menjadikan hilangnya waktu bercengkrama dengan anak kandungnya sendiri, yang pada akhirnya anak lebih dekat dengan gurunya, maka pola fikir gurunya itulah yang lebih banyak mewarnai sisi pendidikannya.

Tidak sedikit orang tua terkalahkan oleh guru anaknya sendiri dalam berbagai pola kehidupan. Bersyukurlah jika tempat penempaan pendidikan anak dapat menjaga fitrah anak, namun jika yang melingkungi anak berbagai media sosial yang tidak mendidik, maka jaminan fitrah pasti akan luntur, bahkan terjadi dekadensi moral, dengan demikian doktrin Nabi saw. “maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dirinya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi”, tentu bukan pada keduanya, malainkan apa yang mendampingi anak dalam kehidupannya.

Mengakhiri artikel ini, penulis mengajak para pembaca untuk merenungkan firman Allah swt.:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌإِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang beriman, sungguh di antara istri-istri dan anak-anak kalian ada yang merintangi kalian berjuang membela agama Allah. Karena itu, berhati-hatilah kalian menghadapi mereka. Jika kalian memaafkan dan berlapang dada serta mau mengampuni kesalahan-kesalahan mereka, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya. Harta dan anak kalian merupakan ujian keimanan bagi kalian di dunia. Surga  yang ada di sisi Allah adalah pahala yang amat besar. Wahai manusia, karena itu taatlah kepada Allah dengan segenap kemampuan kalian. Dengarlah dan taatlah kepada Allah, serta dermakanlah harta kalian yang baik untuk kebaikan diri kalian sendiri di akhirat. Siapa saja yang dijauhkan oleh Allah dari sifat kikir, maka ia termasuk orang yang mendapatkan kemenangan di akhirat.(Qs. Al-Taghabun: 15-16).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Wahai orang-orang beriman, janganlah harta dan anak-anak kalian menyibukkan kalian sehingga kalian lupa melaksanakan kewajiban kalian kepada Allah. Siapa saja yang sibuk dengan urusan dunianya, mereka itu adalah orang-orang yang pasti mendapat kerugian di akhirat. (Qs. Al-Munafiqun: 9).

Semoga dengan bimbingan Rasulullah saw. anak yang terlahirkan menjadi qurrata a’yun, investasi yang mengarahkan menuju surga, bukan sebaliknya yang akan menjadi penghalang orang tua untuk menggapai ridha  Allah swt., na’udzubillah.

SILAHKAN IKUTI KAMI & SHARE KE SESAMA - SEMOGA BERMANFAAT :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: MAAF !!